Interview: Dodit Mulyanto, antara Musik dan Stand Up Comedy

JAKARTA - Dodit Mulyanto muncul di dunia hiburan Tanah Air dari panggung stand up comedy pada tahun 2014. Berbeda dari kebanyakan komika, pria kelahiran Blitar itu tampil dengan violin.

Apa yang dihadirkan Dodit sejak awal menunjukkan musik jadi elemen penting dalam keberhasilannya di dunia hiburan. Maka dari itu, tidak heran jika ia kemudian merilis lagu, baik secara solo maupun kolaborasi.

Namun, rilisan terakhir Dodit yang berjudul Tau Diri menjadi pembeda. Tidak seperti sebelumnya, ia terlihat sangat aktif mempromosikan diri sebagai penyanyi.

Melihat keseriusan Dodit Mulyanto dengan musiknya, tim VOI menemuinya di salah satu mal di kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Di tengah kesibukannya untuk promosi, Dodit bicara banyak hal terkait musik dan rencananya sebagai seorang entertainer yang lebih komplet.

Berikut ini wawancara VOI dengan Dodit Mulyanto baru-baru ini.

Lewat single Tau Diri, Anda tampak serius mempromosikan diri sebagai penyanyi. Apa yang sedang Anda rencanakan?

Aku serius karena aku pengin menyempurnakan panggung stand up-ku, ya sempurna versiku. Aku ingin buat orang ketawa dan baper dalam waktu bersamaan dengan karyaku. Lewat beat-beat stand up dan lirik-lirik lagu yang semuanya berasal dari kehidupanku.

Apa alasan Anda bekerja sama dengan produser musik Chipta Matshuda di single Tau Diri?

Karena yang sekarang ini lebih bebas berekspresi dan mengaktualisasikan diri. Kita bisa memilih, kayak misalkan aku suka nada-nada western, nah itu di-support. Jadi, kita memang payungnya musik barat, biar bisa ke mana-mana.

Di rilisan lagu sebelumnya ada warna berbeda, musik seperti apa yang ingin Anda usung?

Saya penginnya buat musik yang diterima masyarakat aja, yang penting masyarakat bisa senang dan menerima. Bisa sing along sama penonton itu jadi pencapaian tersendiri buat saya.

Di lagu Tau Diri, banyak yang menilai liriknya jenaka, apakah lirik itu sengaja Anda buat?

Kurang tahu ya, karena yang bilang jenaka dan lucu itu kan pendengar. Kalau buat saya, itu nggak lucu. Itu kan menggambarkan ketimpangan, 'Dia naik mobil, aku naik motor', 'Dia sabun batang, aku sabun cair'. Buat saya, sabun batang dan tetesan embun ya sama aja. Kenapa kok tetesan embun lebih estetik? Itu kan sama. Kalau saya tanya anda mandi pakai sabun apa, terus dijawab sabun batang atau sabun cair, lucunya di mana. Ya itu cuma menggambarkan ketimpangan aja. Tapi memang kalau itu diterima sebagai sesuatu yang lucu, ya itu namanya kan lucu karena kebenaran. Kebenaran yang menunjukkan ketimpangan sosial.

Dengan citra sebagai komika yang lucu, apakah ada kesulitan ketika masuk ke panggung musik?

Kesulitannya ya orang-orang kayak bilang ‘Mending stand up mas’. Tapi lama-lama, saya itu orang yang nggak bisa dilarang, selama itu hal yang baik.

Dulu itu saya mengalami pelarangan-pelarangan seperti itu, 'Ngapain sih stand up pakai biola, stand up itu pakai microphone doang'. Nah, saya itu orang yang begitu, dan ternyata biola membawa keberhasilan. Terus, untuk stand up comedian yang menyanyi, yang namanya menyanyi itu bahasa tutur, menceritakan banyak hal. Orang mengeluh, orang bercerita, orang ngomong kabar gembira, itu bisa dengan banyak media, ada yang stand up, ada yang puisi, dan ada yang menyanyi. Bagi saya, itu hak semua orang. Ya siapa aja boleh berekspresi, dan itu adalah hak eskpresi saya. Saya akan maju terus, selama baik dan tidak merugikan.

Industri hiburan Indonesia punya sosok seperti Benyamin Sueb dan Bing Slamet, orang yang dikenal jenaka dan juga bernyanyi. Apakah Anda ingin mengikuti mereka, atau mengisi kekosongan yang ditinggalkan keduanya?

Kayaknya setiap zaman punya ikonnya masing-masing, dan saya tidak mencoba menggantikan atau mengisi kekosongan. Saya cuma menjalankan gairah saya saat ini. Kalau di stand up, ya ada rutinitas seperti show, open mic, special show, dan tampil di corporate atau gigs. Tapi, bermusik ini adalah panggilan saya terdahulu yang saya recall. Jadi, aku nggak coba mengisi atau menggantikan orang.

Referensi musik Anda seperti apa?

Saya tumbuh dengan musik dari band tahun 1990an sampai sekarang. Tapi remaja saya itu ya saya dengerin Padi, Sheila On 7, Naif. Kalau yang barat, dari kecil itu sudah dengar Guns N’ Roses, Scorpions, Bon Jovi, Firehouse, sampai Skid Row. Itu warna-warna musik yang mempengaruhi saya.

Apakah referensi musik itu yang mempengaruhi penampilan Anda belakangan ini, yang kerap membawa band di setiap panggung?

Iya, soalnya band itu seru, mainnya organik semua, benar-benar dimainkan. Dan kita mainnya itu kayak balik ke zaman dulu, itu seru. Aku juga ingin berkegiatan layaknya anak band, mulai dari latihan sampai tur bareng. Selama ini aku stand up kan sendiri terus, nah ini ada band itu kayak ada sahabat-sahabat yang bisa ngomongin musik bareng.

Anda pernah menyampaikan bahwa Tau Diri adalah single pembuka untuk album yang nantinya akan dirilis. Sejauh apa pengerjaan albumnya sampai saat ini?

Jadi, Tau Diri memang membuka rangkaian album yang sekarang sudah 75 persen ditulis, dan sudah beberapa direkam dan mixing. Di situ, semua lagunya terinspirasi dari kehidupan saya pribadi. Kalau lagunya mengarah ke yang kurang baik, itu pengalaman teman saya. Jadi, ini adalah keresahan dan apa yang saya rasakan, tapi dalam bentuk lagu. Biasanya saya kan dalam bentuk stand up comedy, kalau ini lagu.

Beberapa festival musik sudah memberikan panggung khusus untuk stand up comedy, bagaimana Anda menanggapinya?

Saat ini, hal itu jadi hal normal. Sekarang pekerjaan orang itu tumpang tindih. Aku ini kalau disebut stand up comedian tapi main film, disebut selebgram tapi bekerja sebagai KOL. Karena akhirnya semuanya saling menyatu, tapi yang jadi jati diri kita apa. Semuanya itu sekarang bisa ke mana-mana. Kayaknya semua orang begitu deh. Mereka bisa presenter, bintang iklan, semuanya menyatu dan seru. Jadi, kalau ada stand up memasuki dunia panggung musik atau konser, itu adalah hal yang normal. Dulu, saya juga pernah mengisi jadi opener konser, tapi saya stand up. Dari situ, aku mikir kayaknya seru deh kalau aku punya lagu sendiri. Jadi, dari situ aku kepikiran. Dan panggung konser itu ya harus dengan musik.

Industri musik punya pergaulannya yang khas, yang belum tentu sama dengan industri kreatif lain, bagaimana Anda menyesuaikan diri?

Kalau ada waktu, aku selalu silaturahmi dengan musisi-musisi senior, ya lewat DM, ngobrol, kita juga ketemuan. Ya istilahnya aku menimba ilmu lah dari beliau-beliau.

Dengan apa yang dilakukan sejauh ini, apa harapan Anda ke depan?

Ke depan, aku pengin bikin special show. Jadi, aku mau kombinasikan laguku yang kutulis sendiri dan keresahanku lewat stand up. Jadi satu, tertawa dan baper dalam waktu bersamaan. Saya pengin jadi stand up comedian dan musisi yang beneran musisi. Selain itu, aku juga harapan ke depan bisa ada di panggung-panggung musik besar, dengan musik yang proper untuk menghibur penonton.