Industri Hasil Tembakau Masih Kontraksi, Kemenperin Ungkap Penyebabnya

JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan, bahwa industri hasil tembakau (IHT) masih mengalami kontraksi hingga saat ini.

"Jadi, kalau kami melihat memang tembakau ini agak kontraksi cukup signifikan, karena adanya pembahasan terkait dengan peraturan perundangan yang masih berproses," kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika di Gedung Kemenperin, Jakarta, dikutip Rabu, 1 November.

Adapun perundangan yang dimaksud merupakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan yang masih dalam pembahasan.

Putu berharap, apabila nantinya peraturan tersebut sudah rampung, bisa memberikan kepastian usaha ke depannya.

"Mudah-mudahan (ketika aturannya sudah rampung) akan memberikan kepastian usaha dan juga dari sisi purchasing power," ujarnya.

Pada kesempatan sama, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Edy Sutopo mengatakan, IHT memang mendapatkan sejumlah tekanan mulai dari kenaikan cukai sejak 2020 hingga pembahasan RPP Kesehatan.

Edy menegaskan, bahwa hal tersebut yang membuat IHT masih belum mampu mengalami ekspansi dan tetap kontraksi.

"Untuk industri hasil tembakau ini adanya kenaikan harga cukai, jadi sejak 2020 sampai dengan 2022 ini cukai terus naik, kemudian harga jual eceran (HJE) juga naik," ucapnya.

Diketahui, pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024 mendatang.

Edy menilai, perusahaan rokok awalnya tidak ingin menaikkan harga untuk mempertahankan konsumen. Namun, pada akhirnya industri hasil tembakau terpaksa harus menaikkan harga rokok mengingat margin keuntungan yang terus menipis.

"Sejak pertengahan tahun ini, industri hasil tembakau secara perlahan mulai menaikkan harga rokoknya. Hal ini mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap rokok, sehingga pesanan baru semakin turun menjelang akhir tahun ini," tuturnya.

Penurunan pesanan baru ini juga menyebabkan penurunan produksi. Kondisi tersebut diperberat dengan pembahasan RPP Kesehatan, terutama pada bagian pengamanan zat aditif, yang dinilai berpotensi mematikan IHT.

"Hal ini juga membuat beberapa produsen dalam memenuhi permintaan cenderung menghabiskan persediaan yang ada dibanding meningkatkan produksi. Pelaku usaha juga wait and see melihat perkembangan pembahasan RPP ini. Kami terus kawal pembahasan RPP Kesehatan untuk jaga iklim usaha IHT tetap kondusif," ungkapnya.

Sekadar informasi, Kemenperin mencatat IKI Oktober 2023 mencapai 50,70 atau tetap ekspansi meskipun melambat 1,81 poin dibandingkan September 2023 yang sebesar 52,51.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, meskipun melambat 1,81 poin, namun IKI di Oktober masih berada pada fase eskpansif.

"IKI pada Oktober 2023 masih pada level ekspansi, yaitu sebesar 50,70 dan itu berarti melambat sebesar 1,81 poin dibandingkan dengan September 2023, yakni nilainya sebesar 52,51," kata Febri dalam rilis penilaian IKI bulan Oktober di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa, 31 Oktober.

Sebanyak 16 subsektor yang mengalami penurunan nilai IKI, dengan tiga subsektor yang mengalami penurunan nilai IKI tertinggi adalah Industri Mesin dan Perlengkapan ytdl, Industri Pengolahan Tembakau, dan Industri Komputer, Barang Elektronik dan Optik.

Adapun tiga subsektor yang mengalami peningkatan nilai IKI yaitu, Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus, Industri Barang Galian Bukan Logam, dan Jasa Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan, yang naik ke level ekspansi setelah tiga bulan sebelumnya mengalami kontraksi.