Pengamat Anggap Wajar KPU Digugat Rp70,5 Triliun Gara-gara Terima Pendaftaran Bacawapres Gibran, Asalkan Tak Politis

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) atas dugaan perbuatan melawan hukum karena menerima pendaftaran capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. KPU diminta ganti rugi senilai Rp70,5 triliun. 

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Andriadi Achmad menilai wajar gugatan tersebut. Terlebih, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai cacat hukum karena meloloskan gugatan batas usia cawapres paling rendah 40 tahun kecuali pernah menjabat sebagai kepala daerah. Di mana aturan tersebut tidak ada di UU Pemilu. 

"Menurut hemat saya, wajar bila ada gugatan terhadap suatu peristiwa yang dianggap terindikasi pelanggaran hukum, termasuk gugatan salah satu dosen kepada KPU karena dianggap melanggar UU pemilu dengan menerima pendaftaran capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang dianggap cacat hukum," ujar Andriadi saat dihubungi VOI, Selasa, 31 Oktober. 

Namun Andriadi mengingatkan agar jangan sampai ada niatan terselubung dan bermuatan politis untuk mendiskualifikasi pasangan capres cawapres tertentu maju di pilpres 2024. Sebab menurutnya, jika memang ada pelanggaran maka semestinya sudah sejak awal KPU menolak.  

"Saya sangat apresiasi kalau niatnya memang untuk menegakkan aturan atau hukum. Tapi kalau ada muatan politik untuk mendiskreditkan paslon tertentu, tentu terasa tidak elok," katanya.

Andriadi menilai, publik harus menunggu apa yang menjadi keputusan dari PN Jakpus. Apakah menerima atau menolak gugatan tersebut.

"Jika diterima, maka ada peluang banding dan kasasi dari pihak Prabowo-Gibran. Jika ditolak, tentu Prabowo - Gibran melenggang sebagai salah satu paslon dalam kontestasi pilpres 2024," pungkasnya.

Sebelumnya, dosen bernama Brian Demas Wicaksono menggugat KPU atas dugaan perbuatan melawan hukum karena menerima pendaftaran capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Gugatan tersebut dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

“Kebetulan saya sebagai penggugat terhadap KPU, saya sebagai penggugat, latar belakang saya sebagai dosen, akademisi, saya melihat bahwa ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh ketua KPU," ujar Brian Demas kepada wartawan di PN Jakpus, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin, 30 Oktober.

Demas menilai, KPU seharusnya melakukan perubahan PKPU sesuai keputusan MK terkait syarat batas usia capres-cawapres. Namun menurutnya, perubahan PKPU itu tidak dilakukan oleh KPU namun tetap menerima pendaftaran capres-cawapres Prabowo dan Gibran.

"Harusnya ketua KPU itu melakukan rapat dengar pendapat dengan DPR dahulu untuk melakukan perubahan PKPU,” katanya. 

“Tapi ini tidak dilakukan oleh ketua KPU, malah kemudian menerima pendaftaran tanpa merubah PKPU terlebih dahulu," sambungnya.

Karena itu, Demas menilai, pendaftaran yang dilakukan Gibran tidak memiliki dasar hukum atau legal standing yang tepat. Karena tidak sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam PKPU bahwa syaratnya hanya 40 tahun tidak ada redaksional lain sesuai dengan keputusan MK.

“Maka dari itu, ini menjadi pembelajaran yang penting bagi penyelenggara negara supaya tidak main-main, kita ini adakah negara hukum, kita adalah negara demokrasi, ketika hukum itu hilang maka penyelenggara negara akan melakukan perbuatan sewenang-wenang yang kita alami hari ini, itu menjadi dasar saya untuk menggugat ketua KPU dan komisioner yang lain,” jelasnya.

Demas mengatakan, pihaknya menggugat KPU untuk membayar ganti rugi sebesar Rp70,5 triliun. Dia mengatakan ganti rugi itu nantinya akan dikembalikan ke negara.

“Angka Rp70,5 triliun itu adalah angka yang disampaikan oleh menteri Ibu Sri Mulyani kepada publik bawa anggaran pemilu sebesar itu. Maka perbuatan hukum yang dilakukan ketua KPU adalah kerugian Rp70,5 triliun, itu nantinya akan kami kembalikan kepada negara,” katanya.