Skandal Putusan Mahkamah Konstitusi

JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi dalam sepekan terakhir merupakan tontonan yang memperlihatkan secara telanjang rangkaian peristiwa untuk memanipulasi sebuah lembaga yudikatif yang dikenal dengan nama mahkamah konstitusi. Melihat hal tersebut sudah sepantasnya rakyat menjadi marah bukan hanya gelisah.

Pada tanggal 9 September di sebuah seminar di kampus Unissula di bilangan Kota Semarang, Ketua MK Anwar Usman mengatakan dalam pidatonya sudah saatnya anak muda menjadi pemimpin di Indonesia. Ia mengatakan salah satu tugas pemimpin adalah melahirkan kader kepemimpinan yang lebih baik dan lebih tangguh dibanding pemimpin pemimpin hari ini.

“Tugas pemimpin bukan hanya menjalankan rutinitas kepemimpinan namun juga mampu melahirkan kader kader pemimpin masa depan yang lebih baik dan lebih tangguh dibanding pemimpin-pemimpin hari ini karena tantangan ke depan akan lebih berat”, ungkapnya dikutip dari laman Unissula Kampus Kaligawe.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman tak henti dihujani pertanyaan hingga kritik setelah MK mengabulkan sebagian  persmohonan soal usia capres cawapres yang membuat Gibran Rakabuming Raka bisa melenggang sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto. (IST)

Jika berdasarkan time line, pernyataan Anwar Usman dan putusan yang dibacakan MK terkait batas usia capres dan cawapres tentu saja sudah menyalahi aturan hukum.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan rangkaian peristiwa sebelum putusan MK itu dibacakan telah tertulis di berbagai media massa. Bivitri menilai pernyataan dari Anwar Usman ini tidak etis bagi seorang hakim untuk mengomentari perkara yang sedang diperiksa, di mana pada saat itu belum putus. Empat hari kemudian pada tanggal 13 September, ada perkara yang ditarik yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbiru.

"Gugatan Almas itu baru masuk ke mahkamah konstitusi pada tanggal 13 September loh. Padahal gugatan dari PSI dan Partai Garuda juga kepala daerah lainnya sudah mengalami pemeriksaan dan persidangan kurang lebih 5 bulan. Dan yang baru masuk itu yang dikabulkan," kata Bivitri Susanti.

Berdasarkan analisis politik orang awan dari putusan MK itu yang diuntungkan tentu saja putra sulungnya Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Keputusan MK yang dibuat oleh Anwar Usman sebagai pamannya Gibran dipertontonkan tanpa malu-malu kepada 270 juta rakyat Indonesia. Apalagi dalam gugatan nomor 90 itu nama Gibran disebut oleh pemohon dengan alasan diidolakan.

Bivitri mengaku merasa heran dengan legal standing dari penggugat yang bernama Almas. Menurut dia, legal standing yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi biasanya sangat ketat dan seharusnya tidak menerima gugatan Almas yang hanya berdasarkan mengidolakan putra sulung dari Jokowi itu.

"Jadi banyak sekali kritik yang perlu diberikan berdasarkan peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya," kata pengajar di sekolah Jentera ini.

Dampak dari putusan ini menurut Bivitri ada dua pertama sudah jelas ada di mahkamah konstitusi itu sendiri. Di mana gantungan legitimasi dari lembaga yudikatif itu sebenarnya sangat rapuh dan tergantungnya kepada kepercayaan publik. Kepercayaan publik itu tergantung kepada putusan hukum dari pengadilan-pengadilan itu.

Saat pilpres 2019 yang lalu, ada 'letupan-letupan' kecil yang terjadi namun publik saat itu masih mempercayai MK sebagai penjaga gerbang dari konstitusi sehingga tidak meluas. Bayangkan kalau semua orang sudah tidak percaya malah menertawakan mahkamah konstitusi. Hal ini yang sangat mengerikan," katanya.

Hal yang kedua menurut Bivitri, dari hasil putusan MK tersebut memberikan situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Dia beralasan yang ditarik ke tengah gelanggang politik merupakan lembaga yudikatif yang seharusnya mempunyai prinsip kemandirian tersendiri.

"Hal yang kedua merupakan sesuatu yang belum pernah terbayangkan, di mana lembaga yudikatif ditarik ke tengah gelanggang politik untuk membuka jalan politik dinasti. Kita sebagai rakyat belajar dari elite politik, jika hukum tidak mendukung bukan mereka (para elite) yang harus mengoreksi diri tapi hukum yang akan diubah mereka. Dan ada cara yang instan yakni melalui mahkamah konstitusi,"katanya.

Putusan MK yang meloloskan batas usia mengisyaratkan permainan cawe-cawe politik dari Jokowi. Meski pola berpolitik itu tidak sama dengan kisah cerita di sinetron namun yang perlu ditekankan sebuah peristiwa itu bukan catatan sebuah gosip. Bivitri mengungkapkan memang tidak bisa membuktikan secara konkret namun melihat rekam jejak dan peristiwa sebelum putusan itu diputuskan bisa membantu membuat sebuah analisis politik.

"Sebelumnya ada upaya Mahkamah Konstitusi dirusak dengan DPR memasukkan Guntur Hamzah mengganti Pak Aswanto. Dalam membuat analisis politik dan tata negara berdasarkan analisis dari jejak aktornya,tidak bisa secara hitungan hitam dan putih seperti matematika. Saya bisa melihat gejala ini dengan sangat jelas dan terbuka mulai dari siapa yang diuntungkan, latar belakang para hakim dan bagaimana cara mereka memutuskan sebuah perkara di pengadilan,"tandasnya.

Politik Sayang Anak

Politik dinasti yang diterapkan di keluarga Presiden Jokowi dinilai instan. Berbeda dengan cara Megawati yang juga putri dari Presiden pertama, Soekarno. Megawati memulai karir politiknya pada tahun 1996 dengan peristiwa 27 Juli sebagai oposisi. Megawati mendapatkan posisi di politik sebagai oposisi pemerintah selama beberapa periode dan orang tuanya juga sudah tidak ada.

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) putra sulung dari Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meski terbilang instan menduduki posisi ketua umum Partai Demokrat namun ada peristiwa politik yang sudah dijalaninya usai bapaknya tidak menjabat sebagai presiden. Meski belum menang di setiap peristiwa politik namun suami dari Annisa Pohan ini menjalani selangkah demi selangkah peristiwa politik di Indonesia.

Dilihat dari AHY dan Ibu Megawati keduanya memiliki dan mengikuti proses peristiwa politik di saat bapaknya sudah tidak menjabat sebagai kepala negara.

"Peluang-peluang yang dibuka disaat bapaknya menjabat itu merupakan catatan penting bagi politik dinasti," kata Bivitri Susanti.

Pengamat politik Hendri Satrio mengaku sangat tertarik dengan pernyataan Jusuf Kala yang menyebutkan politik sayang anak ala Jokowi. Pernyataan tersebut mengisyaratkan adanya kekuatan politik yang akan mempengaruhi hukum atau sebaliknya kekuatan hukum yang disesuaikan dengan kepentingan politik. Politik di sini tentunya kepentingan politik yang disusun oleh Jokowi.

"Dinasti politik itu lahir dari politik sayang anak, dan mayoritas masyarakat kita tidak menyukai adanya dinasti politik," kata pengamat politik Hendri Satrio dalam keterangan tertulisnya kepada VOI, Selasa, 24 Oktober.

Hendri mengungkapkan penundaan putusan dari MK itu mungkin saja disebabkan Jokowi sedang menunggu jawaban yang tidak pernah datang dari PDIP, terkait setelah pensiun nanti akan dapat tawaran apa dari PDIP. Hendri menambahkan meski selama ini publik sudah mengetahui bahwa Jokowi sudah mendapatkan 7 paket di mana dia sudah 2 kali jadi walikota, 1 kali jadi gubernur, 2 kali jadi presiden, anaknya mendapatkan wali kota di Solo dan menantunya juga menjadi wali kota di Medan.

"Rumor politik yang kencang saat ini Pak Prabowo sudah menawarkan Pak Jokowi untuk jadi Ketua Dewan Pembina di Gerindra, sementara dari PDIP sendiri belum menawarkan apapun kepada Pak Jokowi saat pensiun nanti. Namun jika PDIP menawarkan hal yang konkret kepada Jokowi dipastikan akan kembali ke PDIP," kata Hendri Satrio.

Pengamat politik Rocky Gerung mengatakan Presiden Jokowi saat ini dinilai sedang memainkan lembaga konstitusi untuk kepentingan politik dan kekuasaannya. Hal ini berdasarkan adanya tautan keluarga antara Presiden Jokowi dan Ketua Mahkamah Konstitusi, Usman Anwar.

"Semua pakar tata negara di negara ini paham sekali jika mahkamah konstitusi itu tidak punya kewenangan untuk menguji batas usia capres dan cawapres, itu hak dan tugas DPR. Di sini terlihat secara jelas bagaimana kemarahan publik itu dihitung oleh Jokowi. Seperti beli kucing dalam karung tapi karungnya sudah bolong," kata pengamat politik Rocky Gerung kepada VOI, Selasa, 24 Oktober.

Putusan MK yang dinilai membuka jalan untuk Gibran Rakabuming raka jelas menimbulkan kekecewaan tidak hanya bagi pendukung Jokowi tapi juga Ketua Umum PDIP, Megawati. Menurut Rocky hal ini menunjukkan secara jelas jika Jokowi tidak memahami dengan baik arti dari persaingan antar elite politik. Dan dengan otomatis hal ini menunjukkan Jokowi tidak paham dengan tata krama berpolitik.

"Jokowi itu tidak bermoral. Cawe-cawenya dia sebagai kepala negara itu menimbulkan banyak orang menjadi bermusuhan dan banyak orang saling curiga. Sikap Jokowi itu akan menimbulkan sentimen negatif," kata Rocky Gerung yang dilansir dari youtube Rocky Gerung Official.

Menanggapi ditetapkannya Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto dinilai Rocky akan menimbulkan dendam yang mengakibatkan pemilu kali ini diisi dengan perang kecurangan bukan perang narasi seperti pilpres sebelumnya.

"Kita tinggal tunggu perang dan perang pemilu hari ini, atau hari-hari ini tidak lagi akan jadi perang narasi, tapi perang kecurangan. Jadi kelihatannya dendam versus dendam itu, semua ingin menang mutlak, itu artinya perencanaan kecurangan sudah dimulai sekarang," katanya Rocky.

Bencana Moral

Putusan MK yang membuka peluang Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto dan disahkan oleh pamannya sendiri Usman Anwar dinilai budayawan Butet Kertaredjasa sebagai bencana moral. Butet menjelaskan saat ini rakyat Indonesia sudah cerdas dan mampu membaca setiap peristiwa yang terjadi dengan baik.

"Rakyat Indonesia itu selalu mempunyai kelebihan membaca sesuatu yang "tersembunyi", "kata Butet Kertaredjasa dalam akun youtubenya.

Budayawan asal Kota Gudeg ini merupakan pendukung Presiden Jokowi yang bukan bagian dari anggota partai politik atau kelompok kekuasaan. Pria berkaca mata ini juga tidak ingin mendikte atau mengajari Jokowi dalam berpolitik, melainkan hanya ingin mengingatkan yang merupakan kerja dari kebudayaan yang kerap dilakukannya. Dia beralasan kinerja Jokowi yang sampai saat ini dianggap sebagai role model pemimpin baik tidak musnah akibat kesalahan langkah di akhir masa jabatannya.

"Sejak 1998 kami berjuang untuk pemimpin yang dapat dijadikan contoh, jadi role model, jadi baromoter, jadi tauladan. Dan jangan sampai hilang karena kesalahan yang disebabkan putusan MK ini, sayang sekali," kata Butet Kertaredjasa yang juga pemain teater Gandrik.

Politisi dari PDIP, Masinton Pasaribu menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi akan berdampak buruk terhadap pelaksanaan pemilu 2024. Masinton mengajak semua orang untuk membayangkan jika lembaga mahkamah konstitusi sebagai penjaga terakhir dari konstitusi justru diisi oleh kelompok sontoloyo.

"Coba dipikirkan jika semua proses pemilu itu dilaksanakan dan timbul sengketa. Sengketa dalam pemilu, baik Pilpres, Pileg dan Pilkada. Sengketa itu kemudian diproses oleh orang yang bukan, yang bayangan kita diisi negarawan, tapi diisi kaum sontoloyo," ucap Masinton kepada VOI Selasa, 24 Oktober.

"Seorang yang berjiwa negarawan akan berpikir mandat konstitusi yang menjadi tanggung jawabnya akan dirawat dan dijaga. Paling tidak dia bisa berpikir amanat reformasi dan demokrasi yang sudah berjalan 25 tahun ini jangan dirusak oleh kepentingan yang sudah telanjang di depan mata," tandasnya soal putusan Mahkamah Konstitusi yang banyak mendapat sorotan.