Miris! Mayoritas Penyebar Hoaks dari Akun Centrang Biru
JAKARTA - Disinformasi dan hoaks merupakan masalah yang sangat serius bagi platform X, sebelumnya Twitter. Namun, X tampaknya tidak menyadari bahwa masalah ini juga timbul dari kebebasan akun centang biru.
NewsGuard, organisasi nirlaba pemberantas disinformasi, melakukan penelitian baru-baru ini. Mereka menyatakan bahwa penyumbang disinformasi terbesar di X adalah pengguna X Premium dengan centang biru.
Fakta ini sebenarnya mengejutkan, tetapi tidak mengherankan. Pasalnya, X memberikan akses centang biru secara mudah kepada penggunanya. Mereka hanya perlu membayar 8 dolar AS (Rp127 ribu) per bulannya.
Padahal, sebelum Elon Musk memimpin, Twitter fokus memberikan centang biru kepada selebriti, politisi, dan jurnalis. Orang-orang dengan profesi ini tidak perlu membeli demi mendapatkan centang biru.
NewsGuard telah menganalisis 250 unggahan disinformasi di platform X dalam kurun waktu satu minggu. Dari seluruh unggahan yang membagikan informasi tentang perang, 74 persen unggahan disebarkan oleh akun bercentang biru.
Secara memprihatinkan, 250 unggahan ini memiliki lebih dari 100 juta penayangan dan 1.349.979 keterlibatan yang dihitung dari tanda suka, re-post, komentar, dan fitur Bookmark.
Jumlah penayangan dan interaksi yang tinggi ini tentu terjadi karena keuntungan dari centang biru, yaitu peningkatan jangkauan. Akun-akun ini memiliki algoritme yang ditingkatkan sehingga unggahan mereka sangat mudah viral.
Baca juga:
NewsGuard mengatakan bahwa centang biru bisa menjadi peningkatan yang bagus, tetapi bisa juga menjadi hal yang krusial. Dengan bukti akun centang biru sebagai penyebar disinformasi terbanyak, NewsGuard mengkritik keras kebijakan centang biru X.
Sementara itu, platform X terus mempromosikan penggunaan fitur Catatan Komunitas. Namun, dari 250 unggahan yang diteliti NewsGuard, hanya 79 unggahan yang ditandai sebagai konten disinformasi dengan Catatan.
Melihat minimnya penggunaan Catatan pada konten disinformasi, NewsGuard mengatakan bahwa Catatan Komunitas hampir 70 persen gagal meluruskan konten disinformasi.