Memori Hari Ini, 20 Oktober 2011: Kematian Diktator Libya Muammar Gaddafi

JAKARTA – Memori hari ini, 12 tahun yang lalu, 20 Oktober 2011, Muammar Gaddafi tewas diberondong peluru pasukan NATO di Sirte, Libya. Kematian pemimpin Libya itu menghebohkan seisi dunia. Era diktator di Libya dianggap berakhir.

Sebelumnya, eksistensi Gaddafi di Libya berlangsung cukup lama dari era 1969 hingga 2011. Kuasa berjalan lancar tanpa hambatan dengan ajian represif. Namun, kuasa itu terganggu kala gelombang protes Arab Spring muncul di Timur Tengah.

Tiada yang menyangsikan pengaruh media sosial. Gejolak revolusi Arab Spring jadi contohnya. Gelombang gerakan perlawanan rakyat pro demokrasi yang menuntut perubahan politik di kawasan Timur Tengah menjalar ke mana-mana.

Gerakan itu bermula dari aksi sekelompok orang tak puas dengan hasil pemilu yang dimenangkan kelompok komunis di Tunisia. Mereka menumpahkan kekesalannya di media sosial. Dari Twitter, Facebook, hingga Youtube.

Nyatanya, kekesalan itu bukan monopoli segelintir orang saja. Mayoritas rakyat Tunisia melanggengkan hal yang sama. Bak gayung bersambung. Rencana aksi turun ke jalan digelorakan. Aksi demonstrasi muncul di mana-mana. Rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali pun berhasil digulingkan pada Januari 2011.

Muammar Gaddafi saat berkunjung ke Rumania dan bertemu Presiden Nicolae Ceausescu di Bukarest pada 14 Januari 1974. (Wikimedia Commons)

Kejadian itu membuka mata rakyat yang berada di Timur Tengah lainnya. Mesir, apalagi. Pemerintahan Hosni Mubarak dianggap tak efektif. Sosok diktator yang memerintah selama 30 tahun itu dianggap tak lagi sesuai dengan selera zaman. Represif pula.

Alhasil, rakyat Mesir melontarkan kekesalahnya di media sosial dan gelora Arab Spring sampai ke Negeri Piramida. Gelora protes kian semakin bertambah. Alih-alih mundur, pejuang revolusi terus menuntut Hosni Mubarak mundur. Pucuk dicinta ulam tiba. Hosni Mubarak berhasil dilengserkan pada Februari 2011.

“Dalam revolusi tersebut, masyarakat sipil Mesir berhasil melengserkan Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa secara sewenang-wenang selama 30 rahun. Selama kurun waktu itu, Mubarak memberlakukan emergency law yang melegitimasi terjadinya tindakan arbitrer oleh aparat keamanan negara, terutama kepolisian.”

“Berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh kepolisian Mesir terdokumentasi dan tersebar luas di ranah cyberspace (atau internet) melalui penggunaan information and communication technologies (selanjutnya disebut ICTs). Sebelum lengser, Mubarak memutuskan untuk melakukan shut down, yakni mematikan seluruh jaringan internet dan komunikasi, dalam rangka mengurangi political dissent, atau perbedaan pendapat,” terang Amira Woworuntu dalam buku Transnasionalisme (2018).

Gelora Arab Spring kemudian mengarah masuk ke Libya. Nada-nada ketidakpuasan kepada pemimpin Libya Muammar Gaddafi disuarakan di media sosial. Suara ketidakpuasan itu dilanggengkan karena kekuasaan Muammar Gaddafi terlampau lama.

Seorang tentara pemberontak Libya menunjukkan foto Muammar Gaddafi setelah dijatuhkan, ditangkap, dan dieksekusi mati pada 20 Oktober 2011. (The Telegraph/Rex Features)

Saban hari aksi demonstrasi dilanggengkan. Suara-suara meminta Gaddafi mundur muncul ke permukaan. Namun, Gaddafi pun tak ambil pusing. Gaddafi justru dengan entengnya menggunakan kuasanya dengan menurunkan perlawanan militer.

Aksi itu bak senjata makan tuan. Gejolak pertumpahan darah itu membuat Dewan keamanan PBB mengintervensi Libya. Hasilnya, organisasi militer internasional, NATO turun tangan. Nato kemudian ikut mengamankan rakyat Libya dari ajian militer penguasa.

Puncaknya pada 20 Oktober 2011. Nato mencoba menahan laju kelompok militer Gaddafi. Kontak senjata di Sirte pun terjadi. Hasilnya tak diduga. Nyatanya di dalam salah satu mobil konvoy militer terdapat Gaddafi. Ia tewas terkena gempuran peluru NATO. Berita kematiannya pun mengebohkan dunia.

“Pada saat penyerangan. NATO tidak tahu bahwa Gaddafi berada dalam konvoi. Intervensi NATO dilakukan semata-mata untuk mengurangi ancaman terhadap penduduk sipil, sesuai dengan mandat PBB kita. Sebagai masalah kebijakan, NATO tidak menargetkan individu.”

“Kami kemudian belajar dari sumber terbuka dan sekutu intelijen bahwa Gaddafi berada di konvoi dan bahwa serangan kemungkinan besar berkontribusi untuk penangkapannya. NATO tidak membocorkan informasi spesifik tentang aset nasional yang terlibat dalam operasi,” tertulis dalam rilis NATO sebagaimana dikutip Horace Campbell dalam buku Global NATO and the Catastrophic Failure in Libya (2013).