Sejarah Kerja Paksa Pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, Benarkah Daendels Tak Bayar Pekerja?

JAKARTA - Dalam bingkai masa lalu, jalan raya adalah sejarah politik. Di Indonesia, kisah jalan raya dimulai dari kepemimpinan Marsekal Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Hindia-Belanda pada 1809. Jalan Raya Pos, namanya.

Berawal dari persiapan perang, kemudian keuntungan perdagangan mengikuti. Jalan itu digambarkan membentang sepanjang seribu kilometer, berada di antara Anyer hingga Panarukan. Karya raksasa itu berhasil menyatukan tanah Pasundan dan tanah Jawa sebagai kawasan ekonomi tunggal.

Kedatangan Mas Galak –Julukan Daendels— ke tanah Jawa cukup menggemparkan. Daendels menginjakkan kaki ke Batavia pada 5 Januari 1808. Kedatanganya menimbulkan kekagetan demi kekagetan bagi orang lama dalam sistem kerja kolonial.

Begitu tiba di Nusantara, Daendels langsung memerlihatkan tajinya. Daendels langsung memutuskan pindah ke Butenzorg (Bogor) saat itu juga, sekalipun hujan sedang deras-derasnya. Daendels beralasan lingkungan Batavia tidak sehat.

Ilustrasi Daendels (Raga Granada/VOI)

Keputusannya membuat orang-orang di Dewan Hindia kerepotan. Menurut mereka, untuk pindah sekiranya butuh sampai 30 tim. Tapi Daendels dengan egonya sendiri mengungkap: saya akan pakai 31 tim.

Perintah Daendels langsung ditaati. Kuasa Daendels begitu kuat di tanah Hindia. Raja Belanda Louis Bonaparte sendiri yang memberikan kuasa penuh kepada Daendels. Alhasil, Daendels dengan segera mereorganisasi Dewan Hindia dan memberinya hak penasihat demi menegakkan panji kekuasaannya di Hindia-Belanda.

“Lalu dia mulai bekerja, memangkas korupsi, menghancurkan dan membangun adminisrasi, membangun jalan, dan benteng. Pendeknya, segala hal yang bisa diperkirakan akan dilakukan seseorang yang menganggapnya diktator. Dia mencapai banyak hasil tapi mendatangkan kebencian besar pada banyak orang yang kepentingannya rusak,” tulis Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961).

Arti penting Jalan Raya Pos

Awal mula pembangunan Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg ditujukan untuk persiapan pertahanan di pantai utara Pulau Jawa pada 1809. Namun dampak pembangunannya ternyata jauh melampaui ekspektasi Daendels.

Jalan itu memang tak memungkinkan untuk menahan pendaratan serdadu Inggris. Akan tetapi, kehadirannya mampu mengubah kondisi ekonomi dan kehidupan Pulau Jawa secara besar-besaran.

Imbasnya, perjalanan dari Batavia menuju Surabaya hanya dapat ditempuh dalam waktu lima hari. Karya Daendels itu, oleh sejarawan Prancis, Denys Lombard bahkan disebut berhasil memersatukan tanah Pasundan dan tanah Jawa.

Penyatuan itu kemudian menciptakan sebuah kawasan ekonomi tunggal. Jalan raya itu memungkinkan pengembangan di berbagai sektor lain, mulai dari perkebunan serta komersialisasi produk-produk kolonial lain, seperti beras.

“Di samping itu, jalan tersebut menciptakan sebuah kelompok sosial yang teramat penting, yaitu kaum pedagang perantara. Terakhir dan terutama, sebagaimana halnya jalan kereta api Trans-Siberia yang memungkinkan terjadinya gerakan penduduk, jalan raya itu menimbulkan mobilitas pada komunitas-komunitas petani. Melalui jaringan jalan-jalan sekunder yang tersambung ke arteri pusat itu, di berbagai daerah yang padat penduduknya terjadilah sebuah ancang-ancang baru ke kawasan-kawasan yang masih perawan,” ungkap Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: SIlang Budaya Jilid 1 (1992).

Salah satu ruas Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan (Sumber: Commons Wikimedia)

Alhasil, banyak pasar dan toko bermunculan di sepanjang Jalan Raya Pos. Dulu orang-orang menghamba pada transportasi sungai. Lalu berkat Jalan Raya Pos, kesibukan itu perlahan bergeser ke jalur darat.

Senapas dengan itu, penduduk bumiputra pun turut mencicipi keuntungan perdagangan dan industri. Lebih lagi, jalan itu tak cuma bermanfaat mengangkut makanan, tetatpi bermanfaat juga untuk peningkatan kesehatan. Dalam narasi besarnya, Jalan Raya Pos bahkan diyakini telah menggusur mentalitas feodal ke modern.

Sastrawan kesohor Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, dalam novelnya, Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (1995) memang mengutuk jatuhnya korban jiwa dalam pembuatan Jalan Raya Pos. Kendati demikian, Pram mengakui bahwa Jalan Raya Pos sejak dipergunakan pada 1809 telah menjelma menjadi infrastruktur penting nan abadi.

“Diperincinya keberhasilan pendahulunya (Daendels): tidak hanya membangun pelabuhan Surabaya dan Benteng Louis, Jalan Raya Pos yang membelah Jawa dari barat ke timur, meletakkan batu pertama berbagai gedung di Batavia, tetapi juga, dan bukan hanya itu jasanya, menyusun sebuah angkatan darat,” tulis Jean Rocher dalam buku Perang Napoleon di Jawa 1811 (2011).

Genosida dan kerja paksa?

Meski begitu, pembangunan mahakarya Jalan Raya Pos begitu disangsikan oleh banyak orang. Hal yang paling mengemuka adalah perihal genosida dan kerja paksa. Dikutip Asvi Warman Adam dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Karya Raksasa Daendels (2005), dijelaskan bahwa narasi itu adalah anggapan lawan politik Daendels bahwa dalam pembangunan pemerintah Kolonial tak punya uang.

Kemudian Daendels disebut memanfaatkan orang-orang Jawa sebagai buruh tanpa bayaran. Lawan politik Daendels sampai menuliskan bahwa 12 ribu pekerja tewas, termasuk 500 orang di Megamendung.

Akan tetapi, peneliti senior Asvi Warman Adam menyebut hal itu butuh diteliti lebih lanjut. Sebab, tak ada jumlah pasti mengenai korban pembangunan Jalan Raya Pos. Kebanyakan angka korban hanya berasal dari buku-buku bahasa Belanda yang notabene ditulis oleh lawan politik Daendels.

Begitu pula perkara isu kerja paksa yang tak seluruhnya benar. Dalam salinan dokumen milik J.A. van der Chijs berjudul Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811 jilid ke-14 (1895), dijabarkan secara panjang lebar terkait kesepuluh pasal instruksi Daendels dalam pembangunan Jalan Raya Pos.

Pada pasal 3, misalnya, disebutkan jalan ini harus dibuat selebar 2 roed rijn atau sekitar 7,5 meter. Pada setiap jarak sekitar 150 meter harus didirikan tonggak atau paal sebagai penanda jarak serta penanda distrik,dan penduduk untuk memelihara jalanan.

Salah satu ruas Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan (Sumber: Commons Wikimedia)

“Pembangunan dari Cisarua ke Cianjur disebut di situ membutuhkan 1.100 kuli yang didatangkan dari Jawa. Yang menarik, dalam pasal 4 dan 5 disebutkan secara rinci jumlah kuli beserta upahnya. Dari Cisarua ke Cianjur 400 orang, dari Cianjur ke Rajamandala 150 orang, dari Rajamandala ke Bandung 200 orang, dari Bandung ke Parakanmuncang 50 orang, dan dari Parakanmuncang ke Sumedang 150 orang,”  ujar J.A. van der Chijs dikutip Majalah Tempo dalam laporan Sepuluh Instruksi Mas Galak (2015).

Adapun upahnya per kuli dari Cisarua ke Cianjur 10 ringgit. Dari Cianjur ke Rajamandala 4 ringgit. Dari Rajamandala ke Bandung 6 ringgit. Dari Bandung ke Parakanmuncang 1 ringgit. Dari Parakanmuncang ke Sumedang 5 ringgit. Dan dari Sumedang ke Karangsambung 4 ringgit. Sederet rincian itu membuktikan bahwa Daendels tak sepenuhnya menerapkan kerja paksa.

Apalagi, pembangunan Jalan Raya Pos setidaknya sampai hari ini dirasakan manfaatnya. Dalam koridor lebih luas, konsep sentralisasi kawasan lewat Jalan Raya Pos milik Deandels nyatanya membantu pengembangan konsep kawasan Indonesia sebagai satu kesatuan politik. Sejarawan Denys Lombard menyebutkan jika ungkapan Daendels “Dari Anyar sampai Panarukan,” Seokarno kemudian mengganti ungkapan itu menjadi: Dari Sabang sampai Merauke.

MEMORI lainnya