Apa Itu GSP dan Kenapa Status Negara Maju adalah Beban Dilematis Pemerintah
JAKARTA - Amerika Serikat (AS) lewat Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara-negara berkembang. Keputusan Amerika ini dianggap berdampak untuk Indonesia, khususnya terkait Generalized System of Preferences (GSP).
Kenaikan kelas ini akan membuat Indonesia kehilangan GSP atau kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor. Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak dari AS untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima.
Ekonom senior Indonesia Aviliani mengatakan, indikator negara maju di Indonesia itu tidak ada. Yang ada menurutnya cuma pertumbuhan ekonomi. Namun, jumlah pengangguran dan kemiskinan masih tinggi. Sementara, kategori negara maju adalah negara yang mampu bersaing dengan negara-negara lain dari seluruh dunia.
Menurut Aviliani, GSP ini tidak hanya bergantung pada AS. Ketika WTO sudah mengeluarkan Indonesia dari negara berkembang, maka GSP ini akan berlaku juga untuk seluruh negara. "Problemnya adalah apakah kita sudah siap. Mereka tidak tergantung pada kita, lho," kata Aviliani, ditemui di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta Selatan, Rabu, 26 Februari.
"Kalau harga di kita tidak kompetitif, mereka bisa mencari supply yang lain. Ini sebenernya kita bisa protes. China saja bisa protes untuk dianggap sebagai negara maju," tambahnya.
Meski begitu, menurut Aviliani, sebenarnya keputusan AS sudah dapat dijadikan sebagai early warning atau peringatan dini bagi Indonesia. Sehingga, pemerintah sudah dapat melakukan pemetaan apa yang harus dilakukan jika benar-benar kehilangan GSP.
Apalagi, beberapa kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sempat menyebut perekonomian Indonesia akan berada di posisi tujuh hingga sepuluh besar ekonomi terkuat di dunia pada 2030 nanti. Sedangkan, pada tahun 2040-2045, Jokowi mengatakan Indonesia akan masuk dalam negara lima besar ekonomi terkuat di dunia. Bahkan, Indonesia akan berada di posisi keempat.
"Mungkin ini early warning, kan kita selalu ngomong bahwa kita 2030 selalu menjadi negara besar dengan per kapita 10 ribu (dollar Amerika). Berarti kita harus siap dengan dicabutnya GSP. Kita harus memilih benar-benar mana industri yang punya kompetitifnes," ucapnya.
Memilih industri yang memiliki kompetitifnes, kata Aviliani, menjadi sangat penting. Sebab, ketika nantinya GSP dicabut, Indonesia mampu bersaing dan menjadi negara yang memang dibutuhkan oleh negara lain. Namun, saat ini pemerintah belum memiliki peta negara mana saja yang bergantung terhadap Indonesia.
"Kalau kita mau jujur, road map saat ini tidak beda dengan road map sepuluh tahun lalu. Hanya saja, batu bara dan sawit. Tapi kita belum punya dengan Brasil misalnya, apa yang mereka sangat butuhkan banget dari kita. Indonesia belum punya road map tentang itu. Menurut saya ini sebagai early warning kita bahwa ke depan kita harus menetapkan industri atau sub industri yang terkait dengan kebutuhan negara lain ke negara kita," jelasnya.