Jejak-jejak Politik Dinasti

JAKARTA – Bergabungnya putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pengarep ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menimbulkan pro dan kontra di dunia politik Indonesia. Ada yang menilai hal itu sebagai kewajaran, tapi banyak pihak yang menganggap sebagai upaya melanggengkan kekuasaan.

Bagi yang pro dengan keputusan Kaesang, hal tersebut menunjukkan bahwa anak-anak muda sebagai penerus bangsa tidak boleh apolitis. Apalagi, PSI selama ini identik sebagai wadah anak-anak muda yang ingin berkecimpung di dunia politik.

Sementara bagi pihak yang kontra, keputusan suami Erina itu menjadi semacam justifikasi bahwa Jokowi tengah membangun politik dinasti di Indonesia. Terlebih, sebelum Kaesang terjun ke dunia politik, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan menantunya, Bobby Nasution lebih dulu masuk ke politik dan terpilih sebagai Wali Kota Solo dan Medan.

Ya, istilah politik dinasti memang kembali mencuat setelah Kaesang bergabung ke PSI. Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Titin Purwaningsih menjelaskan bahwa sebenarnya ada tiga tingkatan yang terkait dengan upaya melanggengkan kekuasaan.

Pertama, keluarga politik dimana jika ada dua atau lebih anggota keluarga yang menduduki jabatan politik. Kedua, politik kekerabatan yakni upaya melanggengkan kekuasaan melalui rekrutmen politik yang menghasilkan anggota keluarga yang menduduki jabatan politik/pemerintahan yang tidak didasarkan atas kemampuan yang dimiliki atau prosedur yang telah digariskan, tapi didasarkan atas pertimbangan hubungan kekerabatan baik keturunan atau perkawinan.

“Ketiga, politik dinasti yakni upaya melanggengkan kekuasaan dengan mendudukkan keluarganya dalam jabatan politik, ada minimal empat anggota keluarga yang menduduki jabatan politik dan berlangsung lebih dari dua generasi,” terang Titin, Senin, 3 Oktober.

Politik dinasti terkenal lazim diterapkan dalam sebuah kerajaan. Di era modern, sebuah kerajaan yang berbentuk monarki seperti Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol pun tetap menerapkan politik dinasti. Tahun 3050 SM diyakini sebagai awal kemunculan politik dinasti di Mesir Kuno. Sedangkan di China, dinasti tertua adalah Dinasti Xia yang berkuasa antara tahun 2070 hingga 1600 SM.

Dinasti tertua yang masih memegang tampuk kekuasaan adalah Imperial House of Japan atau Keluarga Kekaisaran Jepang yang telah berkuasa sejak tahun 660 SM, dimulai oleh Kaisar Jimmu. Pada perjalanannya, hampir semua negara pernah dikuasai oleh politik dinasti. Mulai Eropa yang pernah mengalami kejayaan monarki hingga negara-negara di Asia dan Afrika yang mengalami dipimpin oleh tangan-tangan politik keluarga.

Fakta menarik adalah di negara-negara penganut sistem demokrasi politik dinasti ternyata juga tumbuh dengan subur. Bahkan, tak jarang demokrasi justru menjadi jalan melanggengkan kekuasaan politik dinasti. Filipina merupakan salah satu contoh negara yang politik dinasti yang kuat, dimana ada keluarga Ampatuan, Aquino, Estrada hingga Marcos.

Selain Filipina, ada juga nama Trudeau Family di Kanada, Nehru dan Gandhi Family di India, serta Kennedy dan Bush Family di negara sedemokratis seperti Amerika Serikat. Lantas bagaimana di Indonesia? Faktanya, politik dinasti juga terjadi di tanah air.

Sebelum Jokowi disebut-sebut tengah membangun politik dinasti, rakyat Indonesia pun tentu melihat bahwa keluarga proklamator, Soekarno menjadi salah satu contoh politik dinasti utama. Selain Soekarno yang merupakan presiden pertama, ada Megawati Soekarnoputri yang menjadi presiden kelima. Saat ini, publik tentu sudah mengenal nama Puan Maharani.

Ya, putri dari Megawati itu sudah menjelma menjadi sosok politisi papan atas yang pernah menduduki jabatan elit. Mulai dari Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Menko PMK hingga Ketua DPR saat ini. Tentu tidak boleh dilupakan adalah keluarga Soeharto. Beberapa anak penguasa Orde Baru itu juga pernah terjun ke dunia politik.

Sosok Siti Hardijanti Rukmana yang akrab disapa Mbak Tutut pernah diorbitkan Soeharto menjadi Menteri Sosial di medio tahun 1998. Ada pula nama Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto yang mendirikan Partai Berkarya dan mengikuti pemilu meski gagal lolos ke parlemen.

Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak ketinggalan. Seperti diketahui, SBY mengorbitkan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono. Suami Annisa Pohan itu pernah berkontestasi di Pilkada DKI Jakarta 2017 meski kalah, dan saat ini didapuk sebagai Ketua Umum Partai Demokrat serta disebut-sebut diajukan sebagai bakal calon wakil presiden untuk mendampingi Anies Baswedan sebelum bubar jalan.

Di daerah, praktik politik dinasti lebih gamblang. Dalam berbagai pelaksanaan pilkada, publik mengenal beberapa dinasti, seperti Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, Dinasti Narang (Kalimantan Tengah), Dinasti Sjahroeddin (Lampung) hingga Dinasti Fuad di Madura.

Politik dinasti yang mungkin paling fenomenal di tanah air adalah berkuasanya Dinasti Chasan Sochib di Banten. Dalam periode yang sama, hampir seluruh anggota keluarga dinasti ini menduduki jabatan politik di Banten.

Mulai dari Ratu Atut Chosiyah (anak) sebagai Gubernur Banten dari tahun 2007 hingga 2015, Ratu Tatu Chasanah (anak) sebagai Wakil Bupati Serang 2010-2015 dan Bupati Serang 2016-2020, serta Airin Rahmy Diany (menantu) sebagai Wali Kota Tangerang Selatan 2011 hingga 2020.

Dosen Sosiologi Politik Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Umar Sholahudin mengungkapkan bahwa secara geografis, hampir 80 persen wilayah di seluruh Indonesia merupakan produk politik dinasti, dan Jawa Timur adalah daerah terbanyak yang menjalankan politik dinasti, yakni 14 daerah. Disusul Jawa Tengah dan Sulsel (6 daerah), Jawa Barat, Sumsel, dan Banten (5 daerah), dan Kalimantan Timur, Sumut, dan Lampung (4 daerah).

Dia mencontohkan, pada Pilkada 2020, Jatim melahirkan politik dinasti di antaranya Ipuk Azwar Anas, Bupati Banyuwangi (istri Azwar Anas/bupati Banyuwangi), Ikfina MKP, Bupati Kab. Mojokerto (istri dari Musthofa Kamal Pasha/bupati Kab. Mojokerto), Makmun Ibnu Fuad, Bupati Bangkalan (anak Fuad Amin/Bupati Bangkalan), Puput Tantriana, Bupati Probolinggo (istri Hasan Aminuddin/bupati Kab. Probolinggo).

“Ada juga Ita Puspotasari, Wali Kota Mojokerto (adik MKP/Bupati Kab. Mojokerto), Hanindito Himawan, Bupati Kediri (anak Pramono Anung), Ony Anwar, Wabup Kab. Ngawi (anak Harsono/mantan bupati), Aditya Halindra, Bupati Tuban yang merupakan anak dari mantan bupati Heny,” ujar Umar, Senin 3 Oktober.

Menurut dia, politik dinasti secara genealogis dan historis lahir dan tumbuh kembang dalam sistem monarki, di mana kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dari ayah ke anak. Hal ini dilakukan dalam rangka agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.

Sayangnya, tren politik dinasti juga muncul sebagai gejala neopatrimonialistik dalam masyarakat politik modern. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit sistem, dalam menimbang prestasi.

“Para politisi memanfaatkan kultur neopatrimonial ini sebagai strategi politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan melalui jalur politik prosedural dalam konteks ini adalah demokrasi. Anak, keluarga, atau kerabat para elite masuk institusi yang disiapkan, yakni partai politik,” tutup Umar.