Pemerintah Perlu Kumpulkan Semua Kepala Daerah Penyangga untuk Kurangi Polusi Jakarta

JAKARTA - Pemerintah diharapkan mendengar masukan dari DPR RI tentang penanganan polusi udara. Lembaga legislatif tersebut meminta Pemerintah agar tidak sporadis dalam mengambil kebijakan yang diterapkan dengan mengedepankan solusi jangka pendek.

Analis kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menuturkan, Pemerintah harus fokus dalam penanganan jangka menengah dan panjang dalam mengatasi masalah polusi udara. Khususnya di DKI Jakarta yang kini masuk dalam daftar kota paling berpolusi di dunia. Oleh karena itu, ia menilai DPR sudah tepat memberikan dorongan kepada Pemerintah.

"Kebijakan yang diterapkan Pemerintah terkait dengan penanganan polusi udara itu memang tidak tepat karena Pemerintah pusat sendiri tidak fokus dalam penanganan polusi udara. Jadi dorongan dari DPR memang tepat sekali," kata Trubus, Kamis 21 September.

Trubus menilai, saat ini Pemerintah pusat seakan lepas tangan kepada setiap kebijakan yang dibuat pemerintah daerah dalam menekan polusi udara. Apalagi kebijakan-kebijakan yang diambil Pemprov DKI Jakarta dalam penanganan polusi udara dianggap cenderung sporadis.

"Di satu sisi juga memang kebijakan yang dibuat Pemprov DKI cenderung bersifat sporadis, seolah hanya memberi penekanan biar keliatan ada suatu upaya. Tapi sesungguhnya itu semua setengah hati dan tidak sungguh-sungguh," sebut Trubus.

Salah satu kebijakan yang disoroti ialah terkait uji emisi bagi kendaraan bermotor. Menurut Trubus, Pemprov DKI tidak konsisten dalam membuat kebijakan tersebut. Sebab saat ini aturan itu kembali ditiadakan padahal sebelumnya Pemerintah menggencarkan sosialisasi tentang pentingnya uji emisi.

Trubus menjabarkan, aturan uji emisi kendaraan sudah diatur dalam Pergub DKI Jakarta No 66 Tahun 2020. Namun kebijakan itu tidak dilaksanakan. Padahal, menurutnya, hal itu merupakan solusi jangka panjang dalam mengurangi polusi udara yang berasal dari asap kendaraan bermotor.

"Terkait uji emisi iItu tidak pernah diperhatikan, tidak menjadi fokus penanganan. Padahal uji emisi di Jakarta itu sudah ada Pergubnya. Di situ ada kewajiban uji emisi tapi yang terjadi Pemprov DKI tidak melaksanakannya," tegasnya.

Trubus menduga, kembali ditiadakannya tilang uji emisi oleh Pemprov lantaran masih banyak kendaraan operasional Pemprov DKI yang berusia lanjut dan terindikasi tidak lolos uji emisi. Ia pun menilai kebijakan tilang uji emisi akan menjadi senjata makan tuan bagi Pemprov DKI apabila terus dilanjutkan.

"Dan lebih memalukan lagi aset atau kendaraan operasional DKI Jakarta umurnya sudah tua semua. Seperti yang kemarin viral kan. Nah ini perlu perhatian mengenai polusi. Di satu sisi Pemprov DKI sendiri tidak siap," terang Trubus.

"Jadi inilah yang mengindikasikan Pemprov DKI nggak siap. Pada akhirnya indikasi itu kuat karena akhirnya mencabut tilang uji emisi. Karena ketakutan dampak yang harus diterima kebijakan ini akan memercik muka sendiri," sambungnya.

Di sisi lain, menurut Trubus, Pemerintah pusat seakan lepas tangan dalam setiap kebijakan yang dilakukan Pemprov DKI. Sebagai pemangku kebijakan tertinggi, seharusnya Pemerintah pusat memberikan arahan yang tepat kepada daerah yang menjalankan kebijakan untuk menekan polusi udara.

"Memang Pemerintah pusat yang harusnya berperan lebih besar untuk mempertemukan kepala daerah di wilayah penyangga Jakarta. Namun sama sekali tidak berbuat banyak, padahal harus ada kolaborasi antara daerah penyangga dalam mengurangi polusi di ibu kota," ungkap Trubus.

Selain itu, Trubus berpandangan kementerian dan lembaga juga harus ikut berperan dalam membantu penanganan masalah polusi udara. Dengan kolaborasi yang tepat bersama pemerintah daerah, diharapkan hal tersebut akan menciptakan sesuatu kebijakan jangka panjang.

"Menurut saya kesigapan DPR yang mendorong Pemerintah untuk jangka menengah dan jangka panjang perlu ada suatu kebijakan regulatif. Nantinya bisa dipakai bersama-sama untuk melihat solusi jangka panjang ini memang terus meningkat secara tajam," urai Trubus.

Trubus pun memberi contoh, penanganan kualitas udara di berbagai negara besar tidak bisa diciptakan dalam waktu singkat. Ia menyebut negara seperti Tiongkok dan Korea Selatan memerlukan waktu bertahun-tahun guna menciptakan kualitas udara yang baik bagi warganya. Ia berharap DPR dapat terus memberi tekanan kepada Pemerintah.

"Karena DPR itu kan merupakan representasi dari publik, sehingga punya kewenangan dan punya hak juga yang sangat strategis. Dalam hal ini untuk mengingatkan kepada Pemerintah yang selama ini memang cendrung abai atau kurang perhatian dalam memandang soal polusi," jelas Trubus.

Trubus mengingatkan bahwa negara harus menjamin kesehatan warga, dengan fokus dalam penanganan polusi udara. Sebab dampak negatif yang dibuat oleh buruknya kualitas udara merupakan masalah kesehatan yang terus menghantui masyarakat.

"Yang harus dilindungi itu kan warganya jadi dengan demikian maka kebijakan ya lebih memberikan perlindungan kepada masyarakat. Bukan persoalan bagaimana kondisi yang terkait dengan sumber-sumber udara itu sendiri," tukasnya.

Kebijakan Pemprov DKI yang dinilai sporadis dalam menangani polusi udara disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris. Salah satunya terkait kebijakan work from home (WFH) yang diterapkan oleh Pemprov DKI sebagai upaya mengatasi buruknya kualitas udara di Jakara.

Charles pun meminta agar Pemerintah tidak hanya fokus pada penanganan polusi udara dalam jangka pendek saja, namun perlu membuat rencana jangka panjang guna melindungi masyarakat dari tercemarnya udara di Jakarta.

Senada dengan Charles, Anggota DPR RI dari Dapil DKI Jakarta I Putra Nababan menyoroti kurangnya kebijakan terpadu untuk mengatasi polusi udara di Jakarta. Ia menyebut masuknya DKI Jakarta sebagai kota besar di dunia dengan kualitas udara yang buruk juga disebabkan karena kurangnya ruang terbuka hijau. Padahal taman-taman hijau dapat membantu mengatasi persoalan kualitas udara buruk.

Putra menilai, pembangunan di DKI Jakarta perlu dibarengi dengan pembukaan banyak ruang terbuka hijau sebagai salah satu bentuk pembangunan yang berkelanjutan.

"Kalau dulu waktu saya masih jadi repoter, daerah Semanggi itu disiapkan oleh Bung Karno sebagai paru-parunya Jakarta. Makanya daerah Semanggi itu banyak pohon-pohon yang hijau. Kalau kita lihat sekarang Semanggi itu sudah banyak gedungnya, pohonnya kecil-kecil hanya buat tata kota aja," kata Putra.