Kasus ISPA Paling Banyak di Jakarta Timur, Melonjak hingga 3 Ribu Lebih

JAKARTA - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi memaparkan kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Jabodetabek meningkat seiring dengan kenaikan kadar polusi udara.

“Kita tidak bisa bilang cuaca berpengaruh berapa persen, tetapi kita bisa melihat bahwa tren kenaikan kasus ISPA seiring dengan kenaikan kadar polusinya, kalau secara umum, kita punya tren seminggu, mulai Senin (4/9) meningkat dibandingkan dengan minggu lalu,” kata Imran dilansir ANTARA, Jumat, 8 September.

Berdasarkan data yang disampaikan Imran, kasus ISPA non-pneumonia (menyerang saluran pernafasan dari tenggorokan hingga ke atas, misalnya batuk) tercatat paling banyak terjadi di Jakarta Timur, mencapai 3.115 kasus pada Selasa (5/9), melonjak dibandingkan Rabu (30/8) yakni 2.419 kasus.

“Hingga saat ini, proporsi kasus ISPA secara keseluruhan masih didominasi usia produktif (17-50 tahun), tetapi kalau masalah pneumonia (menyerang saluran pernafasan hingga ke paru-paru, misalnya sesak nafas) itu lebih banyak balita, karena balita kan pendek saluran pernafasannya, jadi dia lebih rentan terkena ISPA pneumonia,” katanya.

Data kasus pneumonia menunjukkan Jakarta Barat dengan kasus paling tinggi per Rabu (6/9) yakni sebanyak 84 kasus, disusul Kota Bogor 79 kasus, dan Kabupaten Tangerang 36 kasus. Kabupaten Bogor sempat mencatat kenaikan kasus pneumonia tertinggi pada Senin (4/9) yakni sebanyak 192 kasus.

Persentase kasus ISPA non-pneumonia yakni 55 persen pada penduduk usia produktif, sedangkan untuk kasus ISPA pneumonia yakni 55 persen pada balita.

Untuk mengatasi kualitas udara yang memburuk, Kemenkes telah melakukan upaya di sektor kesehatan, meliputi pemantauan kualitas udara dan penurunan risiko serta dampak kesehatan.

Upaya pemantauan kualitas udara diantaranya melengkapi 674 puskesmas di Jabodetabek dengan perangkat Air Quality Monitoring System (AQMS), melengkapi laboratorium rujukan, serta menyiapkan mobile lab untuk identifikasi jenis dan sumber polutan.

Sedangkan upaya penurunan risiko dan dampak kesehatan, diantaranya dengan mengedukasi masyarakat, merekomendasikan masker KF94, KN95 dan masker kain dengan filter particulate matter (PM) 2,5, surveilans penyakit, dan kesiapan fasilitas kesehatan.

“Kami sudah memberikan surat edaran kepada puskesmas se-Jabodetabek, kita ingatkan bahwa mereka harus bersiap menerima keluhan penyakit yang terkait dengan polusi udara. Mempersiapkan itu, termasuk masalah logistik hingga pelaporannya. Untuk pelaporan sekarang sudah bisa harian,” tuturnya.

 

Ia juga menegaskan puskesmas bisa segera merespons surat edaran yang sudah diberikan oleh Kemenkes.

“Di beberapa puskesmas, yang saya tahu di Cilandak, Jakarta Selatan, itu ada pojok polusi, yang memfasilitasi masyarakat untuk konseling, memberikan informasi apakah penyakit-penyakit terkait pernapasan yang dialami oleh warga sekitar itu muncul akibat polusi. Jadi itu saya rasa tergantung dari inovasi dari masing-masing puskesmas dan dinas untuk merespons kondisi yang terjadi,” kata Imran.

Beberapa hal penting yang perlu dilakukan puskesmas, rumah sakit, maupun fasilitas kesehatan lainnya, menurut Imran, yakni kesiapan dari segi pelaporan, tenaga kesehatan, obat-obatan, oksigen, dan antibiotik apabila terjadi peningkatan kasus pneumonia.