Sanksi Polri Berpolitik Praktis dan Sejarah Singkatnya
YOGYAKARTA – Tahukah Anda bahwa Anggota Kepolisian Indonesia (Polri) dilarang terlibat dalam politik praktis? Bahkan ada sanksi polri berpolitik praktis yang akan dikenakan kepada anggota yang terbukti melakukan pelangaran tersebut.
Sanksi Polri Berpolitik Praktis
Menjelang tahun politik 2024, Anggota Polri aktif dilarang keras terlibat dalam politik praktis. Bahkan, peserta pemilu juga tidak boleh melinatkan anggota Polri bahkan TNI. Saat aturan tersebut dilanggar, maka akan ada sanksi yang dijatuhkan.
Sanksi yang dijatuhkan kepada polisi maupun TNI yang terbukti terlibat ikut berkampanye berupa hukuman penjara selama satu tahun dan denda uang sebesar Rp12 juta, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 494.
"Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, perangkat permusyawaratan desa, desa dan/atau yang anggota melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12 juta," demikian bunyi pasal 494 UU Pemilu.
Dalam UU Pemilu juga mengatur larangan para pelaksana, peserta, dan tim kampanye yang menjadi peserta pemilu untuk melibatkan prajurit TNI dan Polri di kegiatan kampanye. Selain itu aparat juga tidak dibolehkan melakukan tindakan tertentu yang merugikan atau menguntungkan kegiatan kampanye.
Tak sampai situ, Polri dan TNI tidak diperkenankan untuk menjadi pemilih di Pemilu. Mereka harus bersikap netral dan tidak menggunakan hak politiknya selama masih aktif.
"Dalam Pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih," demikian pasal 200 No 7 Tahun 2017.
Selain itu ada pula aturan lain terkait larangan keterlibatan Polri dalam politik praktis yakni Peraturan Kapolri (perkap) No. 14 tahun 2011 tentang kode etik Profesi Polri Pasal 6 huruf H yang berbunyi bahwa tiap anggota Polri wajib bersikap netral dalam kehidupan berpolitik.
Selain itu pada Pasal 12 huruf (E) dikatakan bahwa tiap anggota Polri dilarang melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.
Sebagai informasi, larangan keterlibatan TNI dan Polri dalam kegiatan politik praktis muncul mulai era Orde Lama. Kala itu TNI yang masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) terlibat politik yang membuat Abri pecah dan tak solid.
Setelah itu, di masa Orde Baru, Abri mendapat jatah kursi di parlemen (DPR/DPRD dan MPR) bahkan tanpa proses pemilihan namun diangkat secara langsung. Hal itu dilakukan agar ABRI bisa solid lagi dan bisa berdiri di atas semua golongan. Sayangnya ABRI justru dimanfaatkan sebagai peraih kekuasaan. Bahkan ABRI punya peran dalam mekanisme politik di Tanah Air, termasuk mengawasi dan mengintervensi kegiatan Pemilu.
Baca juga:
- Masalah Perpanjangan SIM Menjadi Polemik karena Kepolisian Tidak Konsisten Soal Peraturan
- Bentrok Rempang Batam, Kapolri Bicara Soal Ganti Rugi yang Disiapkan Bagi Warga terkait Relokasi
- Panglima-Kapolri Sebut KTT ASEAN Aman
- Masalah Kesehatan Jadi Alasan Wulan Guritno Batal Diklarifikasi Bareskrim Soal Judi Online
Sebagai langkah penyelesaian, pemerintah mengkoreksi keterlibatan tentara dan polisi pada politik. ABRI yang menjadi TNI dan Polri tidak lagi mendapat hak pilih dalam pemilu. Saat ini dua institusi tersebut murni jadi alat negara sesuai fungsi masing-masing.
Itulah informasi terkait sanksi Polri berpolitik praktis. Kunjungi VOI.ID untuk mendapatkan informasi menarik lainnya.