Pedagang Pasar Gembrong yang Harus Melawan Ganasnya e-Commerce
JAKARTA - Sri tengah duduk di belakang meja kasir ketika kami mengunjungi toko mainan miliknya yang ada di Pasar Gembrong Cipinang, Jakarta Timur. Siang itu, belum ada pengunjung yang datang dan membeli dagangan di toko miliknya yang tak terlalu besar tersebut.
Kondisi ini, kata Sri sudah terjadi sejak beberapa waktu belakangan ini. Penyebabnya bukan hanya karena pasar mainan ini akan dibongkar seperti berita yang sering terdengar akhir-akhir ini tapi juga akibat maraknya e-commerce di Indonesia.
"Sekarang tuh sepi. Kalau menurut saya sih yang pertama karena ada jualan yang online-online itu. Apalagi harga jualan online sama yang kayak saya ini beda, yang online biasanya lebih murah karena distributornya kadang punya lapak online," kata Sri yang kami temui di kiosnya, Minggu, 23 Februari.
Sri yang berjualan sejak tahun 2009 di Pasar Gembrong ini mengatakan, maraknya penjualan mainan secara online membuat harga dagangannya kerap dibanding-bandingkan.
"Kadang ada yang nanya sama anak buah saya, kok di online harganya Rp300 ribu dijual di sini Rp500 ribu buat mainan remote control. Ya kalau sudah begini, paling kita bilang saja, beli online saja," ungkap dia.
Akibat maraknya penjualan mainan secara online, Sri tak menampik omzet yang dia dapatkan menurun. "Kalau hari biasa kerja, pendapatan saya paling Rp1 juta sampai Rp1,5 juta. Kalau hari biasa Rp2 juta sampai Rp5 juta. Kalau dulu tuh hari biasa Rp3 juta-5 juta. Kalau hari libur tanggal merah bisa Rp10-15 juta," jelas dia.
Walaupun begitu, Sri tak memanfaatkan e-commerce untuk menjajakan dagangan mainannya. Sebab, dia tak begitu paham soal berjualan secara online.
Begitu juga Ipung, seorang pedagang mainan yang juga punya kios di Pasar Gembrong itu. Kini, dagangannya banyak dibanding-bandingkan dengan barang yang ada di e-commerce. Kalau sudah begini, dia biasanya memilih pasrah jika calon konsumen batal membeli barang yang dijualnya.
Atau, sebagai langkah akhir biasanya dia mau menurunkan harga barang dagangannya. "Kadang ada juga yang bilang, ini sama kayak di online harganya sekian gitu lah. Ya, kita kadang kasih harga segitu juga, tapi kalau rugi banget ya, kita enggak bisa turunin lagi harganya," ungkapnya.
Fenomena ini, sebenarnya bukan hanya dirasakan oleh para pedagang di Pasar Gembrong Cipinang saja. Di dunia ritel besar dan berskala internasional, beberapa waktu lalu ada sejumlah perusahaan yang terpaksa gulung tikar karena serangan e-commerce.
Salah satunya adalah Forever21 yang merupakan perusahaan ritel di bidang fesyen. Ritel yang bermarkas di Los Angeles, California, Amerika Serikat ini harus merasakan kegagalan di tahun 2019 setelah gagal bersaing dengan e-commerce.
Baca juga:
Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan saat ini memang ada pergeseran minat belanja masyarakat dari konvensional mendatangi langsung pedagang kepada penggunaan sarana e-commerce yang saat ini banyak tersedia. Hanya saja, belum seluruh masyarakat Indonesia yang terpengaruh dengan pola ini.
"Ada beberapa faktor sebenarnya yang mempengaruhi walaupun belum besar tapi trennya ke sana. Pertama, karena kemudahan yang ditawarkan membuat orang lebih memilih e-commerce, utamanya untuk efisiensi dan efektivitas," ungkap Yustinus saat dihubungi VOI lewat pesan singkat, Minggu, 23 Februari.
Kedua, masyarakat lebih memilih e-commerce sebagai sarana belanja karena ada selisih harga yang lebih jauh. "Harga kebanyakan lebih murah, selain karena efisiensi juga faktor pajak dan subsidi," kata dia.
Sehingga, untuk mencegah tumbangnya para pedagang konvensional ini, Yustinus menilai pemerintah perlu memikirkan cara lain. Termasuk memfasilitasi migrasi dari penjualan offline ke online dengan memberi kemudahan dan insentif. Sebab, pedagang konvensional dituntut harus bisa mengikuti perkembangan zaman agar bisnis mereka tetap berjalan.
"Pemerintah harus memberikan kemudahan migrasi ya, misalnya, memberi literasi digital, akses pada teknologi, dan aplikasinya. Selain itu pajak juga perlu diperhatikan. Yang digital platform bisa dikenai pajak lebih rendah seperti di China," tutupnya.