Opsi Investasi Bagi Milenial agar Tak Bokek di Masa Tua
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Beberapa waktu lalu, perusahaan inovasi keuangan, GoBear Indonesia, bekerja sama dengan Kadence International mengeluarkan survei bertajuk Financial Health Index (FHI). Dari survei tersebut, ada fakta menarik, bahwa 28 persen responden yang berusia 18-25 tahun atau kalangan milenial, sama sekali belum memulai rencana keuangan untuk pensiun.

Bahkan, lanjut survei tersebut, di usia 35 tahun, orang Indonesia belum memulai perencanaan keuangan sama sekali. Baru di usia 41 tahun, orang Indonesia sudah memulai langkah nyata untuk menyiapkan rencana pensiun.

Responden dipilih dengan berdasarkan usia di antara 18-65 tahun, jumlah gender yang seimbang, pendapatan bulanan, hingga akses internet yang mereka miliki.

Lantas konsultan jasa finansial multinasional, Grant Thornton Indonesia, punya opsi bagi generasi milenial untuk mengelola keuangannya agar bisa dinikmati di masa tua. Grant Thornton menyerukan sebanyak tiga model investasi yang tepat untuk kalangan milenial terutama memasuki tahun 2020 di mana pertumbuhan ekonomi diperkirakan sejumlah pihak masih berada di kisaran 5 persen per tahun.

"Banyak faktor yang mempengaruhi milenial untuk mulai berinvestasi, pertimbangan paling utama biasanya adalah modal yang tidak besar serta kemudahan akses melalui platform yang mereka pakai sehari-hari," kata Managing Partner Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani, dalam siaran persnya, Jumat 24 Januari.

Menurut dia, berbagai investasi tahun ini diperkirakan bakal semakin populer terutama di kalangan milenial antara lain karena perubahan gaya hidup dan tuntutan lingkungan seringkali mengharuskan adanya penghasilan tambahan. Selain itu, banyaknya arus informasi terkait investasi cukup membuka mata milenial untuk mulai berinvestasi.

Johanna Gani memaparkan, tiga investasi tersebut adalah Peer to Peer (P2P) Lending, yang bila dibandingkan dengan deposito berjangka atau reksa dana, maka tingkat pengembaliannya bisa mencapai dua kali lipat atau lebih. Jika terjadi default, risikonya juga akan lebih rendah dengan pengembalian dalam kurun waktu sebulan.

"Selain bahwa P2P Lending memiliki diversifikasi yang bagus, tidak ada pula komitmen jangka panjang. Gencarnya penyelenggara P2P Lending untuk mengedukasi pasar dengan menjual kemudahan seperti mudah diakses di manapun, baik via mobile apps maupun website akan semakin menarik bagi milenial," ucapnya.

Investasi jenis kedua adalah Equity Crowdfunding, yang saat ini kerap menjadi salah satu alternatif untuk menghimpun dana tanpa perlu IPO. Meskipun terlihat sama dengan konsep investasi yang sudah ada, namun hal tersebut hanya dilakukan terhadap emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Sementara, masih menurut dia, pihak yang butuh pendanaan bukan hanya perusahaan yang sudah IPO saja sehingga Equity Crowdfunding menjadi solusi bagi milenial atau UMKM yang sedang merintis usaha kecil dan ritel yang cukup lekat dengan industri kreatif untuk bisa meningkatkan kapasitas produksi agar tumbuh lebih cepat.

Sedangkan investasi jenis ketiga adalah emas, yang meskipun kerap dinilai konvensional, tetapi komoditas tersebut cukup menunjukkan kenaikan signifkan, dan akan diprediksi meningkat terus di tahun 2020. Sama halnya dengan P2P Lending, nilai emas juga tidak mudah naik-turun dan tahan terhadap fluktuasi inflasi, serta minim risiko.

Selain itu, ujar dia, kini dengan hadirnya layanan menyicil maupun menabung emas mulai dari 1 gram di beberapa e-commerce yang menjadi digital touchpoint sehari-hari kaum milenial semakin memudahkan melatih investasi sejak dini.

"Milenial perlu berpegang pada prinsip bahwa tidak ada yang instan dalam berinvestasi, memahami betul investasi apa yang paling cocok dengan karakter mereka, selalu mempelajari resiko dan mengecek legalitas perusahaan yang akan menjadi tempat mereka berinvestasi adalah tips kami untuk meminimalisir risiko yang tidak diinginkan di kemudian hari," ucapnya.

Apalagi, menurut Johanna Gani, memasuki tahun 2020 tampaknya Indonesia belum dapat berharap banyak dari proyeksi pertumbuhan ekonomi.

Ia mengingatkan bahwa beberapa lembaga seperti Bank Dunia, IMF dan ADB memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di kisaran 5,1-5,2 persen atau berada bawah target APBN 2020 sebesar 5,3 persen.

Hal itu, ujar dia, masih dipengaruhi kondisi perekonomian global yang diperkirakan masih melambat dengan masih adanya tensi antara Amerika Serikat-China serta berbagai problem terkait Brexit yang belum kunjung selesai.

Namun demikian, lanjutnya, kegiatan perekonomian Indonesia ke depan yang lebih stabil pasca-terbentuknya kabinet pemerintahan periode 2019-2024 seharusnya mendorong iklim investasi lebih positif.