Korea Selatan Desak China Hentikan Pemulangan Warga Korea Utara yang Melarikan Diri
JAKARTA - Korea Selatan mendesak China untuk menghentikan pemulangan para pelarian Korea Utara yang bertentangan dengan keinginan mereka, di tengah tanda-tanda Beijing akan melanjutkan praktik tersebut, yang akan membahayakan nyawa mereka setelah tiba kembali di negaranya.
Menteri Unifikasi Kim Yung-ho meminta pihak berwenang China untuk mematuhi perjanjian PBB, tentang hak asasi manusia yang ditandatangani negara tersebut, mengakui pelarian Korea Utara sebagai pengungsi.
"Pemulangan paksa orang-orang yang bertentangan dengan keinginan mereka merupakan pelanggaran terhadap semangat dan prinsip hukum internasional yang melarangnya," kata Menteri Kim dalam keterangan pers Hari Rabu, melansir The Korea Times 16 Agustus.
"Semua warga Korea Utara di China harus diperlakukan berdasarkan standar hak asasi manusia internasional, diizinkan masuk ke negara yang mereka inginkan. Saya meminta kerja sama Pemerintah China dalam masalah pelarian Korea Utara yang ditahan di China, yang telah berulang kali diangkat oleh Korea Selatan dan komunitas internasional," urainya.
Pernyataan Menteri Kim muncul ketika sepasang bus terdeteksi melintasi kota perbatasan Korea Utara Sinuiju ke China, sebagai indikasi kedua negara bergerak untuk mencabut pembatasan yang ditetapkan di perbatasan mereka selama pandemi COVID-19.
Ini mungkin mengarah pada deportasi hingga 2.000 pelarian Korea Utara yang ditahan di China karena virus corona selama tiga tahun terakhir, menurut kelompok hak asasi manusia.
Sementara itu, anggota parlemen Choe Jae-hyeong dari Partai Kekuatan Rakyat yang berkuasa, mendesak Beijing untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang bertanggung jawab.
"Deklarasi berakhirnya COVID-19, yang disambut baik oleh orang-orang di seluruh dunia, bisa menjadi berita buruk, seperti awal kematian, bagi pelarian Korea Utara yang ditahan di China," sebutnya.
Selama beberapa dekade, tambahnya, Beijing secara terang-terangan telah melanggar berbagai perjanjian PBB, termasuk Konvensi Terkait Status Pengungsi dan Konvensi Menentang Penyiksaan, yang dijanjikan China untuk dihormati sebagai pihak yang berpartisipasi.
"Pemerintah China menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia, eksekusi dan penyiksaan terhadap pelarian Korea Utara. Kami mendesak organisasi internasional yang relevan, seperti UNHCR, untuk mengintensifkan upaya mereka untuk melindungi hak asasi manusia dan keselamatan para pelarian Korea Utara," papar Choe
Menurut kesaksian banyak orang Korea Utara yang melarikan diri, nasib yang menunggu mereka yang dideportasi oleh China, paling tidak bisa bertahun-tahun dipenjara di kamp penjara politik. Jika mereka diketahui menghadiri fasilitas keagamaan atau menghubungi warga Korea Selatan di China, para pelarian itu bisa disiksa atau dieksekusi.
Selama beberapa dekade, tragedi seperti itu telah berulang sebagai akibat dari kurangnya kerja sama China serta rendahnya perhatian dan tekanan internasional. UNHCR ikut bertanggung jawab untuk itu, kata Lee Shin-wha, duta besar untuk kerja sama internasional untuk Hak Asasi Manusia Korea Utara.
"UNHCR kurang aktif dalam masalah ini selama 10 tahun terakhir dibandingkan sebelumnya," sebut Lee.
Baca juga:
- Otoritas Zambia Sita Pesawat Pribadi yang Bawa Uang Rp87 Miliar, Senjata dan Amunisi
- Menteri Pertahanan China Peringatkan Jangan Bermain Api Soal Taiwan, Sindir Amerika Serikat?
- Pria Thailand yang Memasuki Kamar Mandi Wanita di Jambore Pramuka Internasional 2023 Dilimpahkan ke Kejaksaan
- Menhan Korea Utara Sebut AS Dorong Semenanjung Korea ke Ambang Perang Nuklir
Diketahui, Beijing telah memperlakukan warga Korea Utara yang melintasi perbatasan sebagai migran ilegal, mengklaim memiliki hak untuk mengirim mereka kembali. Tetapi, perjanjian PBB tentang penyiksaan dengan jelas melarang repatriasi ke negara-negara di mana terdapat risiko penyiksaan.
"Mungkin terlalu berlebihan untuk menyimpulkan bahwa China bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan seperti halnya Korea Utara, menurut penilaian para ahli hak asasi manusia dan hukum internasional," kata Cho Jung-hyun, seorang profesor sekolah hukum di Hankuk University of Foreign Studies.
"Tapi ada kaitan yang bisa membuat China bertanggung jawab sebagai kaki tangannya," tambah Cho.