KPK Bakal Buka Peran Dirut AirNav Indonesia di Kasus Proyek Fiktif PT Amarta Karya di Persidangan
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan siapa pun yang terlibat dalam kasus korupsi proyek fiktif PT Amarta Karya bakal diungkap di persidangan. Termasuk peran Direktur Utama AirNav Indonesia, Polana Banguningsih Pramesti yang sudah pernah menjalani pemeriksaan.
Polana diperiksa pada Rabu, 2 Agustus. Dia diperiksa sebagai saksi untuk melengkapi berkas eks Direktur Utama PT Amarta Karya, Catur Prabowo.
"Materi pemeriksaan pasti nanti dibuka di hadapan majelis hakim," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Selasa, 15 Agustus.
Ali menutup rapat soal materi apa yang bakal dibuka dalam persidangan. Tapi, dia memastikan KPK sudah mengantongi keterangan yang dibutuhkan.
"Prinsipnya kami konfirmasi kepada pihak-pihak sebagai saksi dalam rangka memperjelas dugaan perbuatan tersangka dalam perkara yang terus kami selesaikan penyidikannya ini," tegasnya.
Sementara terkait penerimaan barang mewah yang diduga diterima Polana seperti sepeda Brompton, Ali belum mau bicara banyak. "Nanti kami akan konfirmasi dulu kepada tim penyidik KPK," ungkapnya.
Baca juga:
- Polda Jatim Kantongi Nama Calon Tersangka Pemalsuan Akta Gedung Wismilak
- PPP Janji Tak Bakal Tinggalkan PDIP Meski Sandiaga Uno Gagal Jadi Cawapres Ganjar
- Empat WN Australia Ditemukan Selamat di Aceh Singkil, Satu WNI Masih Hilang
- Ketua RT yang Bubarkan Ibadah Gereja Kristen Kemah Daud Lampung Divonis 3 Bulan Penjara
KPK sebelumnya sudah menahan eks Dirut PT Amarta Karya Persero, Catur Prabowo. Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan subkontraktor fiktif periode 2018-2020.
Dalam kasus ini, KPK menyebut Catur meminta eks Dirut Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna menyiapkan uang untuk kepentingan pribadinya pada 2017. Permintaan itu kemudian diambil dari proyek yang dikerjakan PT Amarta Karya.
Tak hanya itu, Trisna juga minta sejumlah staf PT Amarta Karya membuat badan usaha berbentuk CV sebagai subkontraktor untuk merealisasikan permintaan Catur. Perusahaan fiktif yang dibuat itu dimasukkan dalam proyek padahal tidak melakukan apapun
Ada sekitar 60 proyek pengadaan yang di-subkontrak secara fiktif. Uang yang diperoleh kemudian disimpan dalam rekening, ATM, dan cek badan usaha fiktif yang sengaja dibuat untuk melancarkan keinginan Catur.
Selanjutnya, uang haram itu diduga digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, jalan-jalan ke luar negeri, biaya member golf, dan juga diberikan ke pihak lain. Akibat perbuatan Catur dan Trisna negara jadi merugi hingga Rp46 miliar.