Masihkah Unjuk Rasa Jadi Sarana yang Paling Mumpuni Untuk Kritik Pemerintah?
JAKARTA - Massa Front Pembela Islam (FPI), GNPF Ulama, dan Alumni Persaudaraan (PA) 212 menggelar aksi unjuk rasa bertajuk 'Berantas Mega Korupsi Selamatkan NKRI' di dekat Istana Negara, Jakarta.
Dalam aksi yang berlangsung, Jumat, 21 Februari, sekitar pukul 13.30 WIB ini, massa akan menyampaikan orasi soal tak rampungnya perkara dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya dan suap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang diberikan oleh caleg PDI Perjuangan dari Dapil Sumatera Selatan I Harun Masiku.
Juru bicara aksi ini, Edi Mulyadi mengatakan, demonstrasi ini bertujuan untuk memberi dukungan sekaligus tekanan pada pemerintah agar kasus-kasus seperti ini diusut tuntas. Dia pun kecewa karena polisi melarang aksi ini dilakukan lebih dekat dengan Istana Negara.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan unjuk rasa yang dilaksanakan masyarakat bisa menjadi tekanan dari publik dan mereka tahu apa saja yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah. Dia juga mengatakan, unjuk rasa tak melanggar undang-undang dan bagus bila dilakukan. Asalkan dilaksanakan dengan tertib.
"Demonstrasi itu memang dibuat UUnya. Karena demo itu tidak bisa dilarang. Kedua memang bagus dalam negara demokrasi. ... Bagus saya dukung," kata Mahfud kepada wartawan di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Februari.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menilai tak ada yang salah jika sekelompok masyarakat melaksanakan unjuk rasa memang diperbolehkan karena itu adalah hak rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Siapapun, termasuk kelompok 212 jika mau berdemo itu adalah hak mereka selama semua aturan terpenuhi.
Ujang sepakat dengan Mahfud. Kata dia, unjuk rasa memang bisa memberikan tekanan kepada pemerintah atau institusi lain yang dianggap tak berpihak pada rakyat.
"Dan kebetulan kali ini yang didemo adalah soal pemberantasan korupsi, termasuk KPK. Maka jangan lihat siapa yang demonya, kelompok 212 atau bukan. Tapi lihat tuntutannya. Mereka demo karena dianggap ada ketidakberesan di KPK. Jadi itu wajar-wajar saja," kata Ujang saat dihubungi oleh VOI lewat pesan singkat.
Namun, Ujang menilai, saat ini, unjuk rasa seperti ini, sebenarnya juga tak begitu efektif. Sebab, tekanan atau aspirasi publik sering kali tak dianggap pemerintah.
"Pemerintah saat ini memang jarang mendengar aspirasi publik. Publik inginnya A yang dilakukan pemerintah malah B," tegasnya.
Ujang mencontohkan soal revisi Undang-Undang KPK. Menurut Ujang, gelombang publik saat itu, ingin agar aturan tersebut tak direvisi. Tapi, kenyataannya, pemerintah tetap merevisi perundang-undangan itu.
"Pemerintah kan malah melakukan revisi dan kemudian melemahkan KPK dan saat ini kan terbukti kalau sudah lemah. Salah satunya kan ada 36 kasus yang sudah diberhentikan," jelas pengamat politik ini.
Baca juga:
Selain itu, Ujang juga menyinggung soal omnibus law yang juga mendapat sorotan dari masyarakat saat ini. Meski, publik merasa aturan itu merugikan kelas pekerja, namun pemerintah Presiden Joko Widodo tetap menyerahkan draf soal RUU Omnibus Law Cipta Kerja ke DPR untuk selanjutnya dibahas menjadi undang-undang.
"Kasihan rakyat, punya pemerintah tapi aspirasinya kemudian tidak didengar," ungkapnya.