Mengapa Pemerintah Ingin Pilkada Serentak di 2024 Padahal Pemilu 2019 Diwarnai Keruwetan?

JAKARTA - Pemerintah, lewat Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar tetap ingin menjalankan aturan dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pilkada yang telah menetapkan pemilu digelar serentak tahun 2024. Pemerintah tak ini adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang menormalisasi Pilkada 2017 dilanjutkan ke tahun 2022 dan Pilkada 2018 dilanjutkan 2023.

"Kami berpendapat bahwa UU Pilkada ini mestinya dijalankan dulu. Ada tujuan yang hendak dicapai mengapa Pilkada diserentakkan di tahun 2024. Mari kita menjalankan UU yang ada sesuai dengan amanat UU itu, UU Nomor 10 Tahun 2016 pasal 201 ayat 8, Pilkada serentak kita laksanakan di tahun 2024,” kata Bahtiar, beberapa waktu lalu.

Pengamat politik dari lembaga survei Voxpol, Pangi Syarwi Chaniago mempertanyakan niat awal pemerintah menyelenggarakan pemilihan secara serentak dengan maksud sebagai upaya efisiensi dan efektifitas dalam prosesnya. 

Namun, dia mengingatkan, pemilihan yang digelar secara serentak, seperti Pemilu 2019, malah menimbulkan masalah baru.

"Pemilihan secara serentak selama ini justru mendatangkan persoalan baru yang lebih rumit dan kompleks. Menurut saya, pemerintah sedang dijangkiti penyakit amnesia, mengapa dengan begitu cepat melupakan argumentasi yang pernah mereka gunakan untuk tetap ngotot melaksanakan pilkada tahun lalu?" ungkap Pangi kepada VOI, Senin, 1 Februari.

Sebagai pengingat, berbagai masalah dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 adalah banyaknya petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang meninggal dunia.

Data KPU pada akhir tahun 2019, total ada 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Kementerian Kesehatan juga sempat mendata ada 527 petugas KPU yang meninggal per tanggal 16 Mei 2019.

Sejumlah akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sempat melakukan investigasi soal penyebab sejumlah petugas KPPS sakit hingga meninggal dunia. Hasilnya, mereka meninggal karena kondisinya sedang tidak sehat. Jangan lupa juga soal beban kerja yang dialami selama proses penyelenggaraan Pemilu 2019 sehingga bikin kondisi fisik menurun. 

Kata tim peneliti UGM, penyebab meninggalnya diduga karena riwayat penyakit kardiovaskular yang dimiliki, rerata beban kerja petugas KPPS sangat tinggi, adanya kendala terkait Bimtek serta logistik, serta dampak beban kerja yang terlalu tinggi dan riwayat penyakit sebelumnya.

Sebab, orang normal bekerja 8 jam per hari. Setelah ada putusan MK dalam pelaksanaan Pemilu 2019, beban pekerjaan KPPS dan pengawas jadi berlipat ganda, dari pagi bisa sampai lewat jam 12 malam. 

"Gelombang protes atas pelaksanaan pemilu serentak mulai bising terdengar dari awal, puncaknya penyelenggaraan Pemilu 2019 yang menelan banyak korban petugas KPPS yang meninggal, harusnya tidak boleh lagi terulang via revisi undang undang pemilu," ucap Pangi.

"Jika pemerintah tetap bersikeras untuk menolak melakukan revisi undang-undang pemilu terutama yang berkaitan dengan keserentakan ini, publik layak curiga kepentingan apa sebenarnya yang sedang mereka perjuangkan?" imbuhnya