Apapun Alasannya, Sekolah Tidak Dibenarkan Menahan Ijazah Murid
JAKARTA - Kasus sekolah tahan ijazah adalah masalah klasik yang terus berulang. Alumni MAN 1 Brebes, Zulmi Aulia Ashari jadi korban teranyar. Padahal, ia sudah lulus dari 2021. Tunggakan pembayaran jadi alasan pihak sekolah menahan ijazahnya.
Masalah itu menarik perhatian khalayak umum. Ganjar Pranowo, misalnya. Gubernur Jawa Tengah (Jateng) itu mengimbau orang tua murid melaporkan jika ada masalah sekolah tahan ijazah. Ganjar menjamin untuk turun tangan. Satu-dua hari kelar. Lalu bagaimana nasib daerah lain?
Orang tua Zulmi Aulia Ashari, Akhmad Basori sedih bukan main ijazah anaknya ditahan MAN 1 Brebes. Warga Desa Kaligangsa Kulon, Brebes, Jawa Tengah telah berusaha maksimal. Namun, hasilnya nihil. Anaknya yang sudah dua tahun lulus tak pernah melihat ijazahnya secara langsung.
Kalaupun bisa, ijazah itu hanya dapat ditatap lewat gambar hasil jepretan ponsel Sang Ayah. Sebab, itu satu-satunya yang diizinkan pihak sekolah. Basori pun mengakui kemampuan keuangannya memang jadi kendala.
Ia tak mampu membayar iuran sekolah dan iuran syukuran kelulusan anaknya. Mimpi anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi jadi terganggu. Apa daya ijazah sebagai syarat administratif ditahan. Nanti kalau sudah ada uang saja diambil, katanya.
"Putri saya lulus tahun 2021. Sampai tahun 2023 belum bisa diambil karena memang saya belum mampu bayar iuran syukuran kelulusan. Saya masih simpan total Rp. 1.645.000. Rinciannya Rp 240 ribu pembayaran SPP dua bulan, Rp270 ribu untuk pembayaran uang kelas XII unggulan, Rp1 juta rupiah uang syukuran kelulusan dan biaya lainnya," cerita Basori sebagaimana dikutip Kompas.com, 20 Juli.
Boleh jadi bukan Basori sendiri yang merasakan bagaimana susahnya ijazah ditahan pihak sekolah. Narasi kesedihan itu bisa saja hadir di seantero Jawa Tengah. Banyak orang tua yang kebingunggan mengambil ijazah anaknya karena beragam masalah. Dari nunggak SPP dan biaya lainnya.
Kondisi itu memancing perhatian seisi Nusantara. Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, apalagi. MAN 1 Brebes wilayah tugasnya. Ia pun meminta kepada jajarannya supaya hal yang sama tak terjadi lagi di Jateng. Apapun alasannya. Ganjar pun menjamin Pemprov Jateng akan turun tangan membereskan masalah itu.
“Yang biasanya punya problem (menahan ijazah), suruh kirim ke kita, dan nanti kalau ada kita urus. Apakah itu negeri atau swasta. Kalau sekolah negeri saya pastikan beres besok pagi. Kalau di negeri kita pastikan kalau tertahan, besok pagi keluar.”
“Kalau ada alasan tunggakan, maka kita selesaikan karena di negeri tunggakan tidak berlaku. Kalau swasta, kita mesti negosiasi sama sekolahannya dulu. Kalau di swasta harus bicara dengan sekolah dan yayasan,” terang Ganjar sebagaimana dikutip Diskominfo Jateng, 26 Juli.
Dorong Regulasi Nasional
Upaya yang dilanggengkan Ganjar Pranowo patut diapresiasi. Gubernur Jateng itu berani melirik masalah sekolah tahan ijazah dan potensi pungli di baliknya. Namun, Pengamat hukum, Masykur Isnan justru menyanyangkan jika kebijakan itu hanya berlaku di Jateng saja.
Pemilik firma hukum Masykur Isnan & Partners itu melihat Pemerintah Indonesia tak pernah memiliki regulasi penyelesaian masalah yang seragam terkait kasus sekolah tahan ijazah. Pun berdasarkan pengalamannya menangani kasus sekolah tahan ijazah, langkah yang diambil tak pernah seragam.
Ia pun mendorong supaya pemerintah membuat suatu regulasi yang sifatnya universal. Semua itu dilanggengkan supaya semua kepala daerah -- dari gubernur hingga wali kota punya pedoman atau standar prosedur yang sama dalam menyelesaikan masalah sekolah tahan ijazah.
“Masalah itu membuat upaya penyelesaian jadi variatif di berbagai daerah, tidak seragam. Kedepannya saya kira pemerintah bisa membuat suatu regulasi supaya kepala daerah memiliki landasan yang sama --standar prosedur dan norma—dan berlaku secara luas.”
“Hemat saya, apa yang dilakukan di Jateng tak menutup kemungkinan jadi trigger untuk penerapan regulasi secara nasional. Nanti, setelah kebijakan sudah dikeluarkan baru pemerintah punya PR tambahan, urusan pengawasan. Langkah itu supaya nantinya kebijakan yang ada dapat berlaku efektif,” terang Masykur Isnan.
Masykur Isnan berharap urusan pembuatan regulasi dapat digodok cepat oleh pemerintah. Sebab, fitrah sekolah adalah lembaga pendidikan, bukan lembaga penjamin. Tugasnya adalah mencerdaskan anak bangsa. Sedang langkah penahan jasa adalah upaya bertolak belakang dari tugas mulia itu.
Ia pun meminta kepada orang tua murid di daerah yang belum memiliki regulasi khusus urusan sekolah tahan ijazah tak perlu khawatir. Ia menyarankan kepada setiap orang tua untuk melanggengkan upaya persuasif terlebih dahulu.
Orang tua murid diminta untuk mengadukan ke dinas terkait sebagai upaya jalan tengah. Namun, kalau menemui kebuntuan, maka jalur hukum boleh dicoba. Utamanya, karena langkah itu diperkenankan. Sekalipun langkah hukum menurut Masykur Isnan tak harus jadi prioritas utama.
“Artinya orang tua murid bisa melanggengkan upaya persuasif. Orang tua murid bisa mengadukan ke dinas pendidikan setempat. Setelahnya, jika tak berhasil baru menggunakan upaya hukum yang diperkenankan secara konstitusional oleh hukum kita.”
“Umumnya, langkah mana yang lebih prioritas saya menyarankan langkah persuasif atau komunikasi yang didampingi oleh tiap dinas terkait. Karena kalau masuk ranah hukum boleh jadi kedua pihak sama-sama menerima risiko. Sekolah hancur secara reputasi dan orang tua murid harus keluar biaya ekstra,” tutup Masykur Isnan.