Kereta Api Tidak Bisa Berhenti Mendadak, Ini Dua Alasannya
JAKARTA - Insiden tabrakan antara kereta api dengan truk di Semarang dan Bandar Lampung pada Selasa lalu, mendapatkan respons beragam dari publik.
Salah satu yang menjadi perhatian terkait bagaimana sistem pengereman pada transportasi kereta api.
VP Public Relations KAI Joni Martinus mengatakan, kereta api merupakan jenis transportasi yang tidak bisa melakukan pengereman secara mendadak.
Artinya, kereta api membutuhkan jarak pengereman agar benar-benar berhenti.
“Berbeda dengan transportasi darat pada umumnya, kereta api memiliki karakteristik yang secara teknis tidak dapat dilakukan pengereman secara mendadak. Untuk itu, kami mengimbau masyarakat agar lebih waspada dan berhati-hati sebelum melewati perlintasan sebidang,” ujarnya kepada wartawan, Jumat, 21 Juli.
Joni mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan kereta api tidak dapat mengerem mendadak.
Pertama, panjang dan berat rangkaian kereta api. Makin panjang dan berat rangkaiannya, maka jarak yang dibutuhkan kereta api untuk dapat benar-benar berhenti akan semakin panjang.
Di Indonesia, sambung Joni, rata-rata satu rangkaian kereta penumpang terdiri dari 8 hingga 12 kereta (gerbong) dengan bobot mencapai 600 ton, belum termasuk penumpang dan barang bawaannya.
“Dengan kondisi tersebut, maka akan dibutuhkan energi yang besar untuk membuat rangkaian kereta api berhenti,” jelasnya.
Kedua, kata Joni, sistem pengereman. Kereta api di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem jenis rem udara. Cara kerjanya adalah dengan mengompresi udara dan disimpan hingga proses pengereman terjadi.
Saat masinis mengaktifkan sistem pengereman, udara tadi akan didistribusikan melalui pipa kecil di sepanjang roda dan membuat friksi pada roda. Friksi ini yang akan membuat kereta berhenti.
“Walaupun kereta api telah dilengkapi dengan rem darurat, rem ini tetap tidak bisa berhenti mendadak. Rem ini hanya menghasilkan lebih banyak energi dan tekanan udara yang lebih besar untuk menghentikan kereta lebih cepat,” katanya.
Sehingga, sambung Joni, meskipun masinis telah melihat ada yang menerobos palang kereta, selanjutnya melakukan proses pengereman, maka tetap akan membutuhkan suatu jarak pengereman agar benar-benar berhenti.
“Hal inilah yang nantinya menyebabkan kejadian tabrakan, apabila jarak pengereman tidak terpenuhi,” jelasnya.
Adapun faktor yang berpengaruh pada jarak pengereman yaitu:
1. Kecepatan kereta api. Semakin tinggi kecepatan kereta api, maka semakin panjang jarak pengereman.
2. Kemiringan/lereng (gradient) jalan rel (datar, menurun, atau tanjakan).
3. Persentase pengereman yang diindikasikan dengan besarnya gaya rem.
4. Jenis kereta api (kereta penumpang/barang).
5. Jenis rem (blok komposit/blok besi cor).
6. Kondisi cuaca.
7. Dan berbagai faktor tekhnis lainnya.
Joni mengatakan, rem pada rangkaian kereta api bekerja dengan tekanan udara. Sistem kinerja rem pada roda dihubungkan ke piston dan susunan silinder.
Mekanisme yang mengurangi tekanan udara di kereta api akan memaksa rem mengunci dengan roda.
Jika tekanan dilepaskan secara tiba-tiba, sambung Joni, maka akan menyebabkan pengereman yang tidak seragam, sehingga rem bekerja lebih dulu dari titik keluarnya udara.
“Pengereman yang tidak seragam dapat menyebabkan kereta atau gerbong tergelincir, terseret, bahkan terguling,” jelasnya.
Karena itu, Joni mengatakan KAI mengingatkan kembali, bahwa tata cara melintas di perlintasan sebidang adalah berhenti di rambu tanda ‘STOP’, tengok kiri-kanan, apabila telah yakin aman, baru bisa melintas. Palang pintu, sirine dan penjaga perlintasan adalah alat bantu keamanan semata.
“Alat utama keselamatannya ada di rambu-rambu lalu lintas bertanda ‘STOP’ tersebut. Jadi apabila masyarakat Ketika di perlintasan sudah melihat adanya kereta api walaupun masih jauh, maka seharusnya berhenti terlebih dahulu hingga kereta api tersebut lewat,” tutup Joni.
Baca juga:
- Truk Meledak Tertabrak KA Brantas, Ini Penjelasan Mengapa Kereta Api Tak Bisa Mengerem Mendadak
- Rawan Kecelakaan, 9 Perlintasan Sebidang di Jalur Kereta Api Bandar Lampung Ditutup
- Pascakecelakaan, Kecepatan KA di Perlintasan Madukoro Semarang Masih 20 KM/Jam
- Imbas Kecelakaan, Truk Besar Dilarang Melintas di Perlintasan Kereta Madukoro Semarang
Adapun sesuai dengan UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, pasal 114 menyatakan Pada perlintasan sebidang antara jalur KA dan jalan, pengemudi wajib:
a. Berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup dan/atau ada isyarat lain.
b. Mendahulukan kereta api, dan
c. Memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.