Tak Perlu Risau Soal Pencabutan Bebas Visa Kunjungan, Ini Demi Kehormatan Bangsa dan Negara
JAKARTA - Di tengah upaya meningkatkan pemasukan negara melalui sektor pariwisata pasca Pandemi COVID-19, pemerintah Indonesia membuat keputusan yang memancing pro dan kontra dengan mencabut sementara bebas visa kunjungan (BVK) 159 negara untuk masuk ke Indonesia.
Kebijakan tersebut telah disahkan pada 7 Juni 2023 yang tertuang dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.hh-GR.01.07 tahun 2003.
Sebelum dicabut, total sebanyak 169 negara masuk dalam daftar penerima bebas visa kunjungan bersama 10 negara Asia Tenggara. Namun dengan adanya pencabutan sementara BVK tersebut maka saat ini hanya 10 negara anggota ASEAN yang memiliki fasilitas bebas visa yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.
Kebijakan visa yang dicabut hanya kebijakan bebas visa kunjungan, dan bukan visa kedatangan atau visa on arrival (VOA).
Bebas visa kunjungan diberikan kepada wisatawan mancanegara dengan jangka waktu tinggal di Indonesia paling lama selama 30 hari dan tidak dapat diperpanjang. Para wisatawan yang datang dengan bebas visa kunjungan wajib menunjukkan paspor yang masih berlaku setidaknya enam bulan kepada petugas imigrasi serta tiket meninggalkan wilayah Indonesia.
Sementara VoA dapat diperpanjang satu kali dengan durasi 30 hari setelah menghabiskan jangka waktu tinggal 30 hari sebelumnya.
Tentu bukan tanpa alasan kebijakan memberhentikan sementara BVK ini oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yassonna Laoly.
Setidaknya ada dua alasan utama yang melatarbelakangi adanya keputusan tersebut. Pertama adalah karena persoalan gangguan ketertiban umum, sebagaimana diungkapkan Subkoordinator Humas Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Achmad Nur Saleh.
Alasan kedua kebijakan pencabutan sementara BVK untuk 159 negara dikarenakan penyebaran penyakit dari negara yang belum dinyatakan bebas penyakit tertentu dari Badan Kesehatan Dunia atau WHO.
“Atas dasar pertimbangan tersebut, Keputusan Menteri ini ditetapkan,” kata Achmad dalam keterangan resminya.
Perilaku Turis Asing Perlu Ditertibkan
Soal gangguan ketertiban umum, kita bisa menyoroti bagaimana meresahkannya ulah wisatawan mancanegara di Bali, khususnya turis Rusia. Turis-turis yang berulah di Pulau Dewata sempat viral di media sosial. Mulai dari mengeluhkan suara ayam berkokok, ugal-ugalan saat naik motor, memakai pelat nomor kendaraan palsu, sampai menjadi pekerja ilegal di Pulau Dewata.
Kelakuan turis asal Rusia di Bali inilah yang membuat warga geram, belum lagi ditambah muncul kabar adanya kampung Rusia di Bali, tepatnya di Canggu dan Ubud, pada Maret silam.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno tidak tinggal diam dengan kabar maraknya kasus turis asing yang berulah di Bali. Demi membuat Bali menjadi tujuan wisata yang aman dan nyaman, Sandiaga Uno membentuk Satuan Tugas atau Satgas untuk menertibkan wisatawan mancanegaera yang kerap berulah di Bali.
"Unit-unit di bawah Satgas ini kita harapkan akan memberi narasi yang tegas dalam menegakkan hukum, memberi pengawasan, dan kita pastikan pemulihan pariwisata kita menyasar pada wisatawan yang berkualitas," kata Sandi beberapa waktu lalu.
Karena itulah, dengan adanya pencabutan sementara BVK ini, diharapkan wisatawan yang berkunjung ke Bali, atau Indonesia umumnya, lebih “berkualitas” sehingga bisa meminimalisasi kemungkinan turis berbuat onar di Tanah Air.
Meski dinilai dapat menipiskan risiko gangguan keamanan, di sisi lain kebijakan penghapusan sementara BVK untuk 159 negara ini juga memunculkan kekhawatiran akan menurunkan kunjungan turis asing ke Indonesia. Padahal seperti diketahui, Indonesia sedang gencar-gencarnya mempromosikan sektor pariwisata setelah loyo karena pandemi selama kurang lebih dua tahun ke belakang.
Sektor pariwisata mati suri saat penerbangan dari luar negeri ditutup. Tak sedikit hotel-hotel dan tempat wisata yang terpaksa gulung tikar karena tak kuat bertahan diterjang pandemi.
Seiring melandainya kasus COVID-19, Pemerintah Indonesia mulai bekerja keras menarik wisatawan asing untuk berwisata ke Tanah Air dan gencar melakukan promosi ke berbagai negara. Pemerintah menargetkan kunjungan wisatawan asing tahun ini bisa mencapai 8,5 juta, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 7,4 juta turis asing.
Ini mengacu pada jumlah kunjungan yang pada kuartal pertama, Januari sampai Maret 2023, tercatat ada 2,25 juta wisman yang mengunjungi Indonesia.
Pemerintah juga menargetkan kenaikan devisa pariwisata sebesar 10 miliar dolar AS, selain peningkatan angka kunjungan turis asing. Angka ini naik 4 miliar dolar AS dari tahun sebelumnya sebelumnya.
Harus Tetap Optimistis
Meski demikian, Deputi Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenko Marves RI, Odo R.M Manahutu tetap optimistis bahwa kebijakan menghentikan sementara BVK untuk 159 negara tidak akan memengaruhi kunjungan wisatawan mancanegara.
Dia menyebutkan bahwa pemerintah telah memberikan alternatif dalam bentuk Visa on Arrival (VoA) kepada negara-negara yang sebelumnya mendapatkan fasilitas bebas visa. Odo berharap fasilitas VoA tersebut tidak memberi dampak signifikan terhadap kunjungan wistawan mancanegara dan devisa pariwisata.
“Ini artinya kunjungan wisatawan mancanegara masih dapat dilakukan, hanya saja dengan prosedur yang sedikit berbeda,” tutur Odo.
Hal senada juga disampaikan Sandiaga Uno, yang mendinginkan kekhawatiran publik soal akan menurunnya kedatangan wisatawan asing setelah kebijakan pencabutan sementara BVK untuk 159 negara.
“Jadi kalau jika kita bisa mengawal momentum kebangkitan ini, kita bisa mencapai di atas 8,5 juta (kunjungan wisatawan mancanegara),” kata Sandiaga Uno dalam Rakernas I Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) 2023 di Jakarta, Selasa (23/5).
Sejatinya, apa pun kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia harus memberikan manfaat. Dan, hal inilah yang ditegaskan Presiden Joko Widodo.
Di tengah kebijakan pencabutan bebas visa kunjungan 159 negara yang menimbulkan perbedaan pendapat, Jokowi menegaskan akan melakukan evaluasi ada tidaknya manfaat bagi negara.
“Pasti ada evaluasi, dulu kita buka total. Evaluasinya memberikan manfaat kepada negara, tidak? Kalau ndak mesti, oh, ini ndak, negara ini perlu dibuka atau tutup? Pasti dievaluasi,” kata presiden usai meninjau dan memantau harga sejumlah kebutuhan pokok di Pasar Parungpung, Bogor.
Dalam kesempatan yang sama, Jokowi juga menegaskan bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara yang melakukan hal ini.
“Semua negara seperti itu. Ada evaluasi dan manfaatnya,” imbuh Presiden Jokowi.
Baca juga:
- Eufemisme Propaganda Politik dalam Sengkarut Stadion JIS
- Dilema Pembelian Alutsista Bekas bagi Indonesia, Sejak Era Soekarno Hingga Joko Widodo
- Al Zaytun dan Aliran Sesat di Indonesia: Pemerintah Harus Menempatkan Hukum Negara di Atas Segalanya
- HUT Polri ke-77: Antara Jargon Presisi dan Pesan Presiden Jokowi