Ketegangan di Prancis Mereda: Tiga Polisi Terluka, 350 Bangunan dan 300 Kendaraan Rusak
JAKARTA - Ketegangan di jalanan kota-kota Prancis mereda, dengan perusuh yang ditangkap kurang dari 160 orang, setelah sebelumnya kerusuhan pecah sejak pekan lalu akibat tewasnya seorang remaja keturunan Afrika utara oleh seorang polisi, kata Kementerian Dalam Negeri Hari Senin.
Kementerian Dalam Negeri mengatakan 157 orang ditangkap dalam semalam, turun dari lebih dari 700 penangkapan pada malam sebelumnya dan lebih dari 1.300 pada Jumat malam.
Tiga dari 45.000 petugas polisi yang dikerahkan semalam terluka, kata kementerian itu, sedangkan sekitar 350 bangunan dan 300 kendaraan rusak, menurut angka sementara, melansir Reuters 3 Juli.
Kerusuhan pecah di kota-kota Prancis, menyusul tewasnya Nehel Merzouk akibat ditembak oleh polisi Selasa pekan lalu, di dekat stasiun RER Nanterre-Préfecture, saat pemeriksaan polisi yang dilakukan oleh dua pengendara sepeda motor polisi di mobil sewaan yang dia kendarai.
Salah satu petugas melepaskan tembakan ke arah pemuda itu dari jarak dekat, melukai dadanya secara fatal.
Pelaku penembakan membenarkan tindakannya, menilai Nahel menolak untuk menuruti permintaannya. Namun, sebuah video amatir bertentangan dengan pengakuannya, mengejutkan pemerintah dan memicu kerusuhan terburuk yang pernah terjadi di Prancis dalam beberapa tahun terakhir.
Sang nenek marah lantaran petugas menembaknya di bagian mematikan.
"Saya marah pada dua polisi itu, karena ada dua dari mereka, yang memukul kepala cucu saya dengan dua popor senapan, dan pada polisi yang menembaknya langsung di jantung, dia bisa saja menembaknya di kaki atau di lengan," ujar Nadia saat diwawancarai di BFMTV, seperti melansir Euronews.
"Dalam kasus ini, nyawanya yang mereka ambil," tegasnya.
"Hati saya sakit. Dia telah mengambil cucu saya dari saya. Orang ini harus membayar, seperti orang lain. Mereka yang melanggar hukum dan memukuli polisi juga akan dihukum. Saya percaya pada keadilan. Saya percaya pada keadilan," urai Nadia.
Polisi berusia 38 tahun yang melepaskan tembakan fatal tersebut didakwa dengan tuduhan pembunuhan yang disengaja dan dipenjara pada Hari Kamis pekan lalu.
Nahel dimakamkan pada Hari Sabtu di pemakaman Mont-Valérien di Nanterre dengan dihadiri oleh ibu dan neneknya serta beberapa ratus orang lainnya.
Kematian Nehel memicu keluhan lama tentang diskriminasi, kekerasan polisi dan rasisme sistemik di dalam lembaga penegak hukum dari kelompok-kelompok hak asasi manusia, serta di pinggiran kota berpenghasilan rendah yang mengelilingi kota-kota besar Prancis.
Sejak Selasa, perusuh telah membakar mobil, menjarah toko dan menargetkan balai kota dan properti lainnya, termasuk rumah Vincent Jeanbrun, Wali Kota l'Hay-les-Roses di pinggiran Paris, yang diserang saat istri dan anak-anaknya tertidur.
"Ini benar-benar mimpi buruk," kata Jeanbrun kepada BFM TV pada Hari Senin.
"Kami telah melalui keadaan pengepungan," sambungnya.
Baca juga:
- Hadapi Perlawanan Sengit Rusia di Wilayah Timur, Militer Ukraina Klaim Keberhasilan di Wilayah Selatan
- Kutuk Pembakaran Al-Qur'an, Kemlu Swedia: Sangat Menyinggung Umat Islam, Tidak Mencerminkan Pandangan Pemerintah
- Dua Orang Tewas dan 28 Lainnya Terluka dalam Penembakan di Baltimore, Mayoritas Korban Berusia di Bawah 18 Tahun
- Perusuh Tabrak Rumah Wali Kota di Prancis dan Lakukan Pembakaran, Anak-Istrinya Diserang Kembang Api saat Melarikan Diri
Jeanbrun, yang merupakan anggota konservatif Les Republicains, mengatakan dalam wawancara, dia menyayangkan pemerintah tidak mengumumkan keadaan darurat yang menurutnya akan memungkinkan polisi untuk melindungi wilayahnya dari perusuh.
"Saya sendiri dibesarkan di L'Hay-des-Roses di blok perumahan besar ini", katanya.
"Kami sederhana, kami tidak punya banyak, tapi kami ingin mengatasinya, kami berharap bisa melakukannya dengan kerja keras," tandasnya.
Pada tahap ini, semuanya menunjukkan orang yang menyerang rumahnya adalah pemuda dari pinggiran kota yang sama, tambahnya.