Republik Mimpi Butet Kartaredjasa dan Parodi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
JAKARTA - Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kerap mengundang kritik. Kebijakannya dianggap melulu mengatasnamakan rakyat. Namun, banyak di antara kebijakannya justru tak tepat sasaran. Bahasa mudahnya: amburadul.
Kritik kepada pemerintah muncul dari mana-mana. Seniman, Butet Kartaredjasa pun sampai angkat bicara. Ia bahkan melanggengkan kritiknya lewat program televisi berisi satire politik. Republik Mimpi, namanya. Butet di sana memparodikan dirinya sebagai Presiden SBY: Si Butet Yogya.
Atensi segenap rakyat Indonesia atas terpilihnya SBY menjadi Presiden Indonesia tiada dua. Ia dianggap mampu membawa warna baru bagi pemerintahan Indonesia pada 2004. Segala macam permasalahan ketika SBY berseteru dengan atasannya, Megawati Soekarnoputri tak jadi soal.
Kepercayaan masyarakat meninggi. Harapan rakyat Indonesia supaya SBY menjadi figur yang dekat dengan rakyat kecil tak tertahankan. Ia bahkan digadang-gadang sebagai representasi pemimpin Indonesia yang berdiri di atas semua golongan.
Ujian pada awal menjabat sebagai Presiden Indonesia berhasil dilewatinya dengan mulus. Semuanya berubah ketika ujian besarnya sebagai pemimpin mulai hadir satu demi satu. Ambil contoh kala pemerintah Indonesia terpaksa menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) dua kali pada Maret dan Oktober 2005.
BBM paling terasa kenaikannya adalah Premium pada bulan Maret dari Rp1.810 jadi Rp2.400 per liter. Sedang bulan Oktober, Premium dari Rp2.400 menjadi Rp4.500 per liter. Kenaikan itu memberatkan masyarakat.
Presiden SBY merasa percaya diri dapat menghadirkan solusi. Ia melanggengkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan itu bertujuan untuk meringankan beban rakyat kecil karena BBM naik. Opsi itu nyatanya tak cukup. Kehidupan segenap rakyat Indonesia nyatanya makin nelangsa. Sebab, BBM justru jadi pemantik naiknya harga kebutuhan lain.
“Kayaknya suatu hal yang mustahil. Untuk menalangi kenaikan harga minyak tanah saja, yang dibutuhkan sebagian besar keluarga miskin baik untuk memasak maupun untuk berjualan gorengan di pinggir jalan, sudah tidak cukup sama sekali. Apalagi lagi untuk menutupi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya yang sudah merayap naik mendahului pengumuman resmi kenaikan harga BBM, rasanya tidak memadai sama sekali.”
“Bagi keluarga miskin penerima dana tunai langsung tentunya sadar betul bahwa tidak akan ada artinya apa-apa uang sebesar Rp100.000 per bulan, jika harus dibelanjakan pada saat meroketnya harga-harga kebutuhan pokok mereka. Dalam kondisi tersebut kekhawatiran yang muncul adalah penerima dana tunai langsung tidak menggunakan uang itu untuk membeli kebutuhan, melainkan untuk membeli mimpi-mimpi di siang hari bolong dengan cara memasang togel (Totoan Gelap),” Fahmy Radhi dalam buku Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat (2008).
Si Butet Yogya
Kritik atas kepemimpinan SBY terus berdatangan. Dari kalangan politisi hingga seniman. Sekalipun, kehadiran kritik membuktikan bahwa alur demokrasi yang anut berjalan dengan baik. Puncak dari lancar sistem demokrasi era SBY adalah kehadiran program televisi yang membuat satire politik.
Republik Mimpi, utamanya. Tayangan yang berisi diskusi lucu namun kritis tentang Indonesia. Tayangan itu ditunggu-tunggu penggemarnya. Republik mimpi tayang seminggu sekali di Metro TV dari awal 2007. Praktisi Komunikasi Politik, Effendi Gazali jadi penggagasnya.
Acara itu mencoba memposisikan diri sebagai negara tetangga dari Indonesia. Ibu kotanya pun dinamakan Yaharta (pelesetan Jakarta). Pemainnya diisi oleh nama-nama terkenal yang memparodikan tokoh besar dalam politik Indonesia. Dari Butet Kartaredjasa hingga Jarwo Kwat.
Butet Kartaredjasa, misalnya. Ia memparodikan dirinya sebagai Presiden SBY. Namun, bukan Presiden Yudhoyono dalam artian sebenarnya. Akronim SBY justru diartikan sebagai Si Butet Yogyakarta. Kehadiran Butet dalam acara itu menambah hangatnya diskusi.
Kebetulan Butet sedari dulu dikenang luas sebagai seniman kritik. Ia pernah melemparkan kritik kepada siapa saja. Ia pun bisa berlakon siapa saja. dari Soekarno hingga Soeharto. Kemudian, di Republik Mimpi ia mencoba beradu pandangan kritis berbalut komedi dengan rekannya semasa seniman.
Ada Jarwo Kwat yang memparodikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) da ada Handoyo yang memparodikan mantan presiden Gus Dur yang kebetulan dipanggil Gus Pur. Mereka banyak membahas terkait isu-isu terkini terkait pemerintah Indonesia. Mulai dari kontroversi sampai blundernya.
Aksi Butet memerankan SBY mendapatkan banyak pujian. Ia dianggap mampu memparodikan SBY dengan maksimal. Sama seperti Presiden Republik Indonesia, SBY, Si Butet Yogya digambarkan sering membuat janji tapi isinya kosong. Kehadiran SBY Republik Mimpi jadi dikenang dengan celetukan: saya akan.
Kelakar-kelakarnya banyak menyentil penguasa. Apalagi, aksi butet dan kawan-kawan sempat memancing amarah pemerintah. Empunya kuasa menganggap program Republik Mimpi berani mengolok Presiden Indoneisa. Bahkan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Sofyan Djalil (2004-2007) sempat berpikir untuk melayangkan somasi kepada empunya acara pada Maret 2007.
Fakta itu sempat membuat penggagas Republik Mimpi kalang kabut. Mereka sempat mengganti nama acara dari Republik Mimpi ke Kerajaan Mimpi. Perubahan nama itu justru membuat Butet ‘naik jabatan’ dari Presiden Republik Mimpi jadi Raja SBY.
Baca juga:
Peran Raja SBY membuat nama Butet sebagai seniman semakin melambung. Sekalipun peran itu hanya dimainkannya sebentar. Sebab, Kerajaan Mimpi hanya bertahan dua episode saja dan berganti kembali jadi Republik Mimpi. Setelahnya, Butet kembali memerankan Presiden SBY. Butet berkata: Kami lebih takut somasi dari rakyat ketimbang somasi oleh penguasa.
“Ketika diminta untuk memparodikan SBY, aku sadar bahwa wajahku tidak menyerupai wajahnya. Aku bilang, aku seorang aktor, pemain panggung. Aku bisa menafsirkan sebuah karakter. Sehingga akan tampak seperti bayangan SBY.”
“Aku tidak tahu apakah itu berhasil atau tidak. Selama ini, aku tidak pernah menampilkan karakter. Aku meniru suara Soeharto, daripada bermain Soeharto sebagai karakter. Misalnya, saya menggambarkan seorang lurah dengan karakter yang menyerupai Soeharto. Lebih seperti sebuah asosiasi. Ini semua dalam ranah imajinasi,” terang Butet sebagaimana dikutip Evan Darwin Winet dalam buku Indonesian Postcolonial Theatre (2010).