Teleskop James Webb Intip Lebih Dalam Planet TRAPPIST-1 c, Layak Huni?

JAKARTA - Teleskop Luar Angkasa James Webb milik NASA telah berhasil mengukur panas yang memancar dari TRAPPIST-1 c, sebuah planet ekstrasurya.

TRAPPIST-1 c, mengorbit bintang kerdil merah yang berjarak 40 tahun cahaya dari Bumi dengan suhu siang hari sekitar 225 derajat fahrenheit.

Planet ini merupakan planet berbatu yang pernah dicirikan berdasarkan emisi termal. Dia memiliki ukuran dan massa kira-kira persis dengan Venus serta menerima jumlah radiasi yang sama dari bintangnya.

Sebuah tim peneliti internasional menggunakan Teleskop Webb untuk menghitung jumlah energi panas yang berasal dari TRAPPIST-1 c.

Tujuannya, dalam upaya untuk menentukan apakah atmosfer planet dapat bertahan di lingkungan keras bintang kerdil merah. Hasilnya menunjukkan atmosfer planet sangat tipis dan mungkin terbentuk dengan air yang sedikit.

"Kami ingin tahu apakah planet berbatu memiliki atmosfer atau tidak. Di masa lalu, kami hanya bisa mempelajari planet dengan atmosfer tebal dan kaya hidrogen. Dengan Webb akhirnya kami dapat mulai mencari atmosfer yang didominasi oleh oksigen, nitrogen, dan karbon dioksida," ujar penulis pertama makalah yang diterbitkan hari ini di Nature, Sebastian Zieba, dikutip Selasa, 20 Juni.

Tim menggunakan MIRI (Mid-Infrared Instrument) milik Teleskop Webb untuk mengamati sistem TRAPPIST-1 pada empat kesempatan terpisah saat planet bergerak di belakang bintang, sebuah fenomena yang dikenal sebagai gerhana sekunder.

Dengan membandingkan kecerahan saat planet berada di belakang bintang (hanya cahaya) bersama kecerahan saat planet berada di samping bintang (cahaya dari gabungan bintang dan planet), tim dapat menghitung jumlah cahaya inframerah-menengah dengan panjang gelombang 15 mikron dilepaskan di siang hari planet ini.

Jumlah cahaya inframerah-menengah yang dipancarkan oleh sebuah planet berhubungan langsung dengan suhunya, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh atmosfer.

Gas karbon dioksida secara istimewa menyerap cahaya 15 mikron, membuat planet tampak lebih redup pada panjang gelombang tersebut. Namun, awan dapat memantulkan cahaya, membuat planet tampak lebih terang dan menutupi keberadaan karbon dioksida.

Selain itu, atmosfer substansial dari komposisi apa pun akan mendistribusikan kembali panas dari siang hari ke malam hari, menyebabkan suhu siang hari menjadi lebih rendah daripada tanpa atmosfer.

Data tersebut juga menunjukkan, kecil kemungkinan planet tersebut adalah analog Venus sejati dengan atmosfer CO2 yang tebal dan awan asam sulfat.

Tidak adanya atmosfer yang tebal memperlihatkan planet tersebut mungkin terbentuk dengan air yang relatif sedikit. Jika TRAPPIST-1 lebih dingin dan beriklim sedang terbentuk dalam kondisi yang sama, mereka juga mungkin mulai dengan sedikit air dan komponen lain yang diperlukan untuk membuat planet layak huni.

Sensitivitas yang diperlukan untuk membedakan antara berbagai skenario atmosfer di planet sekecil itu sangat luar biasa. Penurunan kecerahan yang terdeteksi Teleskop Webb selama gerhana sekunder hanya 0,04 persen, setara dengan melihat 10.000 bola lampu kecil dan menampilkan hanya empat yang padam.

Setelah penelitian ini, tim akan melakukan investigasi lanjutan untuk mengamati orbit penuh TRAPPIST-1 b dan TRAPPIST-1 c. Agar dapat melihat bagaimana suhu berubah dari sisi siang ke malam dari kedua planet dan akan memberikan batasan lebih lanjut tentang apakah mereka memiliki atmosfer atau tidak.