Temukan Jerapah Kerdil di Afrika, Ini Penjelasan Ilmuwan

JAKARTA - Jerapah secara umum dikenal sebagai hewan yang menjulang tinggi. Ini menjadi keunggulan buat mereka dalam mencari makanan berupa daun dari pohon-pohon yang menjulang tinggi di Afrika

Namun, apa jadinya kalau ada Jerapah yang kerdil? Ya, sejumlah ilmuwan terkejut dengan penemuan jerapah kerdil di tempat terpisah di Afrika. Temuan yang langsung menjadi perhatian para ilmuwan.

“Sungguh menarik apa yang ditemukan oleh para peneliti kami di lapangan,” terang salah satu pendiri Giraffe Conservation Foundation Julian Fennessy seperti melansir Reuters.

Sebagian besar Jerapah tumbuh hingga 15 - 20 kaki (4,5 - 6 meter), tetapi pada tahun 2018, para ilmuwan yang bekerja untuk lembaga tersebut menemukan Jerapah berukuran 8 1/2-kaki (2,6 meter) di Namibia. Tiga tahun sebelumnya, mereka juga menemukan jerapah setinggi 2,8 meter di taman margasatwa Uganda.

Ilustrasi. (Julie Wolpers/Unsplash)

Temuan langka ini mereka publikasikan dalam 'British Medical Journal' pada akhir Desember tahun lalu. Dalam kedua kasus tersebut, jerapah memiliki standar leher panjang tetapi kaki pendek dan pendek, tulis jurnal tersebut. 

Skeletal dysplasia, nama medis untuk kondisi tersebut, menyerang manusia dan hewan peliharaan. Tetapi jurnal itu mengungkapkan, kondisi tersebut jarang terjadi pada hewan liar di alam bebas.

Rekaman yang diambil oleh lembaga tersebut menunjukkan Jerapah Uganda berdiri di atas kaki yang tebal dan berotot di sabana kering di Taman Nasional Air Terjun Murchison di Uganda utara. Sementara hewan yang lebih tinggi dengan kaki panjang seperti dan tinggi menjulang berjalan di belakangnya.

“Sayangnya mungkin tidak ada manfaat sama sekali. Jerapah tumbuh lebih tinggi untuk mencapai pohon yang lebih tinggi. Kemungkinan besar secara fisik mereka tidak mungkin berkembang biak dengan rekan mereka yang berukuran normal,” papar Fennessy. 

Ilustrasi. (howling red/Unsplash)

Untuk diketahui, jumlah mamalia tertinggi di dunia telah menurun sekitar 40 persen selama 30 tahun terakhir, menjadi tinggal sekitar 111.000. Sehingga ada beberapa spesies diklasifikasikan oleh para konservasionis sebagai dalam status 'rentan' punah.

“Ini sebagian besar karena hilangnya habitat, fragmentasi habitat, pertumbuhan populasi manusia, lebih banyak lahan yang diolah. Dikombinasikan dengan sedikit perburuan dan perubahan iklim,” terangnya.

Namun Fennessy bersyukur, upaya konservasi yang terus dilakukan oleh berbagai pihak, bisa memulihkan kondisi tersebut dalam beberapa waktu terakhir.