Usulan Perdamaian Rusia-Ukraina yang Dilontarkan Prabowo Tuai Polemik, Dua Hal Ini Menjadi Sorotan

JAKARTA - Usulan perdamaian Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto guna mengakhiri perang Rusia-Ukraina dalam forum internasional di Singapura pekan lalu ramai menuai komentar, dengan terbaru Presiden Joko Widodo dikabar akan memanggilnya setelah ada penolakan dari Ukraina.

Menjadi perbincangan khalayak ramai dan polemik di ruang publik dalam negeri, usulan Prabowo tidak terlalu ramai dibahas di luar negeri.

Berbicara dalam forum International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue 20th Asia Security Summit di Singapura pada Sabtu 3 Juni lalu, ada sejumlah usulan yang disampaikannya.

Itu meliputi gencatan senjata, penarikan pasukan kedua negara sejauh 15 kilometer dari posisi terdepan saat ini untuk membuat zona demiliterisasi, adanya pasukan perdamaian yang dikerahkan PBB untuk memantau zona tersebut, serta referendum yang diadakan PBB untuk memastikan secara objektif keinginan mayoritas penduduk di wilayah yang disengketakan.

"Sebagai Menteri Pertahanan beliau menjalankan amanat konstitusi kita yakni aktif mendorong perdamaian dunia, dengan tetap mengusung politik bebas aktif. Tidak ikut pakta pertahanan mana pun," ujar juru bicara Menteri Pertahanan RI Dahnil Anzar Simanjuntak dalam pesan singkat kepada VOI, Rabu 7 Juni.

"Segala upaya untuk perdamaian dunia kita lakukan termasuk menyampaikan berbagai bentuk proposal dialog dan perdamaian dunia, terlepas apakah disetujui atau tidak, Menhan akan terus menyuarakan resolusi damai, bukan hanya untuk Rusia dan Ukraina yg sedang berkonflik juga dibelahan dunia lainnya, termasuk potensi-potensi konflik dan perang yang bisa mengganggu perdamaian," sambungnya.

Terkait usulan yang disampaikan, permasalah referendum dan penarikan mundur militer kedua negara menjadi hal yang banyak disoroti.

Menolak usulan Prabowo, juru bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina Oleg Nikolenko, menegaskan kembali poisi Kyiv bahwa Rusia harus menarik pasukannya dari Ukraina.

"Tidak ada wilayah yang disengketakan antara Ukraina dan Federasi Rusia untuk mengadakan referendum di sana," katanya, seperti mengutip Reuters 3 Juni.

"Rusia harus menjauh dari tanah Ukraina dan Ukraina harus memulihkan integritas teritorialnya di perbatasan yang diakui secara internasional. Tidak ada alternatif lain," tegasnya seperti dilansir dari Australian Financial Review.

Nikolenko sendiri ingin Indonesia mendukung rencana perdamaian 10 poin yang sebelumnya diusulkan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, mengatakan, Ukraina "menghargai perhatian Indonesia terhadap masalah pemulihan perdamaian".

Sementara itu, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell yang hadir dalam dialog di Singapura menolak apa yang dia gambarkan sebagai 'perdamaian penyerahan diri.

"Agresi Rusia tidak boleh dibalas dengan konsesi teritorial lebih lanjut," menurutnya, seperti mengutip The Washington Post.

Selain Nikolenko, penolakan proposal tersebut juga disampaikan oleh Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov, menyoroti gagasan membekukan pasukan Rusia-Ukraina di posisi mereka saat ini, dengan kemudian menciptakan zona demiliterisasi.

"Rusia sekarang mencoba mengganggu serangan balik Ukraina dengan cara apa pun," tulis Nikolenko dalam unggahan di Facebook.

Diketahui, Ukraina disebut-sebut tengah mempersiapkan serangan balasan terhadap Rusia, seiring dengan terus tibanya senjata-senjata canggih Barat untuk mendukung pasukan Kyiv di medan perang sekaligus merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki Rusia.

Senin pekan ini, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengatakan, Ukraina memiliki cukup senjata untuk memulai serangan balasan yang diyakini akan memberi kemenangan yang dibutuhkan.

Ukraina selama berbulan-bulan telah melakukan serangan besar-besaran untuk merebut kembali 18 persen wilayahnya yang masih diduduki oleh Rusia, menggunakan tank, mobil lapis baja dan artileri yang disumbangkan oleh Barat.