Kasus Kekerasan PMI Sudah Gawat Darurat, Perlu Ciptakan Solusi Tepat

JAKARTA - Komisi IX DPR RI menyoroti banyaknya kasus kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI). Komisi DPR yang membidangi urusan Ketenagakerjaan ini meminta Pemerintah mengambil langkah serius untuk menyelesaikan persoalan menyangkut PMI.

“Kekerasan dan berbagai bentuk kejahatan yang diterima oleh PMI kita sudah seperti gunung es yang belum juga ada jalan keluar. Kasus kekerasan PMK sudah darurat, harus ada solusi tepat yang terpadu,” kata Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo, Jumat 5 Mei.

Rahmad menyoroti puluhan PMI yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myanmar. Sebanyak 30 WNI itu merupakan korban scamming online yang menjanjikan peluang kerja. Mereka saat ini dikabarkan masih dalam kondisi disekap serta mendapatkan kekerasan fisik maupun psikis.

“Jika informasi tersebut benar, evakuasi terhadap PMI yang menjadi korban TPPO di Myanmar harus segera dilakukan. Keselamatan saudara-saudara kita yang disekap menjadi taruhannya. Pemerintah harus bergerak cepat,” tegas Rahmad.

Tak hanya kasus TPPO di Myanmar, Komisi IX juga menyoroti kasus penyekapan PMI di Riyadh, Arab Saudi, oleh agensinya. PMI bernama Waode Filqadri Reskiyanti diketahui disekap atau diasingkan oleh agensinya karena mempertanyakan kontrak kerjanya.

Waode yang terindikasi diberangkatkan secara non-prosedural itu dituduh menolak bekerja, padahal ia hanya mempertanyakan kontrak kerja yang tidak sesuai kenyataan di lapangan. Rahmad pun mendorong Pemerintah untuk segera menyelamatkan Waode dan PMI-PMI lain yang mengalami hal serupa.

“Saya banyak mendapat laporan PMI yang menerima kekerasan atau mendapat permasalahan lain di tempatnya bekerja seperti itu. Pemerintah tidak bisa tinggal diam dan harus segera memberi pertolongan,” sebutnya.

PMI yang menjadi korban kekerasan dan terbentur permasalahan di tempatnya bekerja biasanya diberangkatkan secara non-prosedural. DPR mengajak seluruh masyarakat untuk tidak terjebak dan tergiur tawaran pekerjaan di luar negeri melalui jalur ilegal.

“Sosialisasi harus semakin digalakkan agar masyarakat kita tidak mudah diiming-imingi janji menggiurkan oleh agensi atau lembaga-lembaga bodong penyalur PMI. Ini tugas berat yang harus dilakukan bersama-sama, termasuk oleh kami di DPR,” tutur Rahmad.

Legislator dari Dapil Jawa Tengah V ini pun mengingatkan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) untuk terus melakukan sosialisasi dan edukasi peluang penempatan PMI dengan jalur resmi. Selain itu, kata Rahmad, peran Pemerintah Daerah juga sangat dibutuhkan untuk mencegah masyarakat bekerja sebagai PMI melalui cara-cara ilegal.

“Pengawasan harus ketat. Pastikan PMI yang diberangkatkan sudah memenuhi syarat. Kita tidak ingin karena masalah prosedur, dampaknya PMI menjadi korban kejahatan di luar negeri,” ungkapnya.

Di sisi lain, Rahmad meminta agar Pemerintah mempermudah akses calon PMI yang memenuhi syarat untuk segera berangkat kerja. Menurutnya, kemudahan prosedural dan edukasi yang masif dapat mencegah maraknya kasus PMI non-prosedural.

“Karena sering kali terjadi PMI yang sudah memenuhi syarat tidak bisa berangkat karena terganjal birokrasi. Akhirnya mereka nekat berangkat lewat jalur ilegal. Hal seperti ini yang harus jadi perhatian, bagaimana agar urusan birokrasi tidak membuat calon PMI putus asa dan bergerak gegabah,” papar Rahmad.

Komisi IX DPR memahami kompleksnya tata kelola urusan PMI yang melibatkan banyak lembaga, mulai dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan BP2MI. Rahmad berharap, banyaknya pihak yang terlibat tidak menyulitkan calon PMI berangkat kerja.

“Sinergikan sebaik-baiknya demi mempermudah warga kita memperoleh kesempatan bekerja. Hindari ego sektoral, jangan sampai aturan tumpang tindih, dan tidak boleh saling lempar tanggung jawab. Semua harus bersatu padu demi memberi pelayanan terbaik kepada rakyat,” ujarnya.

Berdasarkan catatan Migrant Care tahun 2020, terdapat sekitar 12 aplikasi pemerintah yang berkaitan dengan PMI. Dari laporan tersebut, tumpang tindih kewenangan lembaga menyebabkan upaya penyelesaian masalah berkaitan PMI sering terkendala.

“Mari kita bekerja sama dengan baik. Mengintegrasikan semua hal yang dibutuhkan PMI. Termasuk kami juga mendorong Pemerintah untuk tegas terhadap Negara lain yang banyak terdapat kasus kekerasan terhadap PMI,” tutup Rahmad.