Ekonomi China Tumbuh 2,3 Persen, Melaju Kencang di Luar Perkiraan Analis
JAKARTA - Ekonomi China tahun lalu tumbuh lebih tinggi dari perkiraan para analis. Hal itu juga didapati Negeri Tirai Bambu tersebut di tengah seluruh dunia terpengaruh pandemi COVID-19.
Ekonomi China tercatat tumbuh 2,3 persen pada 2020 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini sebenarnya adalah tingkat pertumbuhan tahunan paling lambat di China dalam beberapa dekade.
Namun demikian, selama satu tahun ketika pandemi yang melumpuhkan ekonomi negara-negara utama dunia ke dalam resesi, China justru berada di daftar terdepan negara yang terhindar dari resesi.
Bahkan raihan pertumbuhan ekonomi 2020 China tersebut juga mengalahkan prediksi Dana Moneter Internasional (IMF) yang memperkirakan ekonomi Negeri Panda itu akan tumbuh 1,9 persen.
"Performa ekonomi China lebih baik dari yang kami perkirakan," kata Ning Jizhe, juru bicara Biro Statistik Nasional China, dikutip dari CNN, Senin 18 Januari.
China membatalkan target pertumbuhan ekonomi di tahun lalu untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade karena pandemi COVID-19 memberikan pukulan bersejarah bagi ekonomi. Produk domestik bruto (PDB) China anjlok hampir 7 persen pada kuartal pertama 2020 karena sebagian besar negara melakukan lockdown untuk menahan penyebaran virus corona.
Baca juga:
Namun, sejak saat itu, pemerintah China berupaya memacu pertumbuhan ekonomi melalui proyek infrastruktur besar dan dengan menawarkan bantuan tunai untuk merangsang pengeluaran masyarakat.
Langkah-langkah tersebut tampaknya berhasil. Laju pemulihan China dipercepat pada kuartal IV 2020, tumbuh 6,5 persen pada periode Oktober-hingga-Desember 2020 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Bahkan capaian itu lebih melesat dibanding pertumbuhan ekonomi sebesar 4,9 persen yang tercatat di kuartal III 2020. Sektor industri merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi China yang sangat besar, di mana mengalami lonjakan 7,3 persen pada Desember 2020 dibanding tahun sebelumnya.
"Ekonomi China menguat, sementara sebagian besar dunia berjuang untuk menjaga keseimbangan," tulis Frederic Neumann, co-kepala penelitian ekonomi Asia di HSBC.