Nasib Hotel dan Restoran Semakin Berdarah-darah, Bagaimana Cara Tingkatkan Okupansi?
JAKARTA - Pembatasan aktivitas sosial masyarakat yang berkepanjangan imbas pandemi COVID-19, membuat okupansi atau tingkat keterisian hotel dan restoran mengalami penurunan. Karena itu, pemerintah dinilai perlu untuk membantu sektor usaha ini bertahan karena memang nasib industri hotel dan restoran kian kritis.
Ketua Badan Pimpinan Daerah PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono mengatakan, tingkat keterisian hotel dan restoran di Jakarta selama pandemi COVID-19 turun drastis. Bahkan menurutnya hanya tersisa di bawah 20 persen.
"Okupansi rate justru turun selama 5 tahun terakhir ini, dari sekitar 70 persen menjadi sekitar 56 persen. Sekarang mungkin sebagian di bawah 20 persen. Pasti berdarah-darah. Berat sekali, sudah pasti rugi sekali karena beban biaya tidak akan tertutup," katanya, di Jakarta, Minggu, 17 Januari.
Sutrisno berujar, meskipun telah berdarah-darah, pihak hotel harus tetap menjalankan bisnisnya, tidak bisa berhenti. Sebab, jika dihentikan saat ini, maka kerugiannya akan semakin besar.
Lebih lanjut, Sutrisno mengatakan, apabila hingga dua bulan ke depan belum ada perbaikan, maka akan semakin sulit bagi pengusaha hotel dan restoran untuk bertahan di tengah pandemi COVID-19.
Menurut Sutrisno, kondisi industri hotel dan restoran saat ini masih terpuruk dan belum mengalami pemulihan berarti. Pasalnya, tingkat penularan COVID-19 yang masih tinggi membuat sebagian masyarakat cenderung menahan diri untuk bepergian.
Kondisi tersebut tercermin dari libur panjang Natal dan Tahun Baru 2021 lalu yang tidak berdampak signifikan pada sektor perhotelan dan restoran. Sebab, ada aturan bepergian yang membuat masyarakat akhirnya membatalkan niat untuk berlibur.
"Kalau saya dengar tidak terlalu besar dan signifikan karena orang yang seharusnya mau ke Bali diwajibkan antigen yang rumit, sehingga waktu itu ada sekitar 133 ribu lebih dari tiket yang terpaksa dibatalkan tidak bisa ke Bali, dan banyak pesanan hotel yang terpaksa dibatalkan," ucapnya.
Namun, lanjut Sutrisno, beberapa hotel tetap beroperasi meskipun merugi. Tujuannya, bukan lagi mengejar profit melainkan hanya untuk meminimalkan kerugian, dibandingkan tidak beroperasi sama sekali.
Karena itu, ia meminta, pemerintah untuk tetap mengatasi masalah kesehatan terlebih dahulu. Menurut dia, jika masalah kesehatan ini dapat ditangani dengan baik, hal ini akan menumbuhkan kepercayaan bagi kelas menengah dan atas yang memiliki uang, untuk melakukan konsumsi di hotel dan restoran.
"Masalah kesehatan adalah faktor penentu. Prioritas memperbaiki kesehatan harus lebih tinggi," tuturnya.
Pemerintah rapat di hotel dan restoran
PHRI DKI meminta pemerintah membantu sektor usaha hotel dan restoran dengan cara melaksanakan kegiatan pertemuan atau rapat di hotel dan restoran di kawasan Jakarta.
Saat ini di Jakarta terdapat 991 hotel. Terdiri dari 397 hotel berbintang, 594 hotel non bintang, dan belasan bahkan puluhan ribu restoran yang terpuruk akibat pandemi COVID-19.
Tingkat okupansi rate hotel terus mengalami penurunan. Selama 5 tahun terakhir ini, dari sekitar 70 persen menjadi sekitar 56 persen, namun sekarang okupansi rate hotel dan restoran banyak yang di bawah 20 persen.
Ketua BPD PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono, mengatakan hotel dan restoran merupakan sub-sektor yang paling terpuruk akibat pandemi dan diprediksi recovery atau pemulihan paling belakang dibanding sektor lain. Karena itu, pemerintah harus membantu sektor ini bertahan.
"Memperbaiki permintaan atas usaha kita yang saat ini sudah sangat-sangat jauh dari keadaan standar. Kegiatan rapat-rapat pemerintah dan badan usaha milik negara sebaiknya digalakkan lagi di Jakarta agar bisa memberi pekerjaan pada hotel dan restoran," katanya, di Jakarta, Minggu, 17 Januari.
Tak hanya itu, untuk membantu menaikkan okupansi hotel, BPD PHRI DKI Jakarta juga mengusulkan agar pemerintah membuat program khusus agar turis baik asing maupun domestik bertahan beberapa hari di Jakarta.
"Sehingga mereka menginap di hotel kita, makan di restoran kita dan mengunjungi berbagai objek wisata," ujarnya.
Di sisi lain, Sutrisno mengaku, sepakat untuk membangun Gerakan Kebangkitan agar pelaku usaha hotel dan restoran tidak semakin terpuruk dan bisa bangkit pada 2021, agar tidak menimbulkan kerugian yang parah bagi para pemilik.
Sutrisno juga minta agar pemerintah membantu meringankan beban-beban ekonomi dan beban biaya yang dapat menyebabkan industri collapse. Misalnya, pajak-pajak PB1, Pajak Korporasi, PBB, pajak reklame, pajak air tanah, biaya listrik, pungutan tenaga kerja dan pungutan-pungutan lain agar diringankan.
"Perpajakan untuk hotel dan restoran/warung kecil mesti dilonggarkan. Pajak bersifat final, angka Rp4,8 miliar untuk usaha kecil saat ini sudah dianggap terlalu kecil mesti ditingkatkan menjadi paling tidak Rp7,5 miliar," katanya.
Minta aturan PSBB untuk hotel dan restoran diperlunak
Tak hanya itu, PHRI DKI Jakarta meminta kepada pemerintah agar pemberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk sektor perhotelan dan restoran bisa diperlunak. Sebab, sektor usaha ini diklaim jauh lebih disiplin protokol kesehatan COVID-19.
"Misalnya seperti jam kerja dan prosedur operasi, karena hotel dan restoran bukan klaster penularan dan kami jauh lebih disiplin dalam melaksanakan protokol kesehatan," kata Sutrisno.
Sutrisno menyatakan, hotel dan restoran merupakan sub-sektor yang paling terpuruk akibat pandemi dan diprediksi pulih paling belakang dibanding sektor lain. Pandemi dan PSBB membuat kondisi keuangan perusahaan perhotelan memburuk. Akibatnya, sebagian pengusaha sektor perhotelan mulai menjual hotel miliknya.
Lebih lanjut, Sutrisno berujar pemicu tekanan pada kinerja keuangan adalah tingkat keterisian atau okupansi hotel yang menurun selama pandemi COVID-19. Saat ini, okupansi hotel hanya tersisa di bawah 20 persen. Sehingga berimbas pada pemasukan hotel yang ikut berkurang. Sementara, beban operasional perusahaan masih berlanjut.
"Kita bisa lihat di macam-macam publikasi itu banyak sekali hotel-hotel yang mulai dijual," katanya, di Jakarta, Minggu, 17 Januari.
Namun sayangnya, Sutrisno mengaku belum mengantongi angka pasti jumlah pengusaha yang menjual aset hotelnya tersebut. Meskipun dijual, ia mengklaim jika pekerja hotel tidak mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Hotel tetap operasi tapi dikelola pihak lain, jadi pekerja masih tetap punya pekerjaan, di situ bukan berarti hilang pekerjaan. Tapi, yang sudah jelas adalah yang dirumahkan ini sudah mulai banyak sejak April," ucapnya.