Kejati Aceh Tetapkan 3 Tersangka Korupsi Pertanahan
BANDA ACEH - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menetapkan tiga tersangka dugaan tindak pidana korupsi pertanahan di Kabupaten Aceh Tamiang, dengan menguasai eks lahan hak guna usaha yang dijual kembali kepada negara.
Kepala Penerangan Hukum dan Humas Kejati Aceh Ali Rasab Lubis mengatakan penetapan dilakukan setelah penyidik menemukan tiga alat bukti permulaan yang cukup menetapkan mereka sebagai tersangka.
"Ketiga tersangka masing-masing berinisial M, TY, dan TR. Para tersangka diduga bertanggung jawab atas penguasaan lahan eks hak guna usaha serta penerbitan beberapa sertifikat hak milik atas tanah negara," kata Ali dilansir ANTARA, Rabu, 12 April.
Ali mengatakan tersangka M merupakan Kepala Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang pada 2009. Tersangka TY merupakan direktur dua perusahaan eks pemegang hak guna usaha (HGU), dan tersangka TR merupakan penerima uang ganti rugi tanah milik negara untuk kepentingan pembangunan Makodim Aceh Tamiang.
Kronologis perkara berawal dari penerbitan dua HGU perkebunan karet diberikan kepada PT Desa Jaya dengan Direktur alm Tengku Abdul Jalil, ayah tersangka TY dan TR pada 1963.
HGU pertama seluas 885,65 hektare dan HGU kedua dengan luas 1.658 hektare. Masa waktu kedua HGU tersebut selama 25 tahun. Izin HGU tersebut berakhir pada Agustus 1988.
"Sejak izin HGU berakhir pada 1988 hingga sekarang, perusahaan tersebut tidak didukung alas hak dan perizinan melaksanakan usaha perkebunan," kata Ali.
Tersangka TR selaku pengurus perusahaan mengajukan permohonan sertifikat hak milik di atas tanah milik negara. Tanah yang diajukan tersebut berada di eks HGU perusahaan tersebut.
Baca juga:
Tujuan pengajuan sertifikat tanah, kata Ali Rasab, untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk pembangunan Makodim Aceh Tamiang. Padahal, tanah yang diajukan untuk penerbitan sertifikat tersebut adalah tanah milik negara.
"Saat itu, TR dibantu M selaku Kepala Kantor BPN Aceh Tamiang membuat permohonan kepemilikan hak atas tanah tersebut untuk tujuan bertani dan berkebun. Setelah sertifikat tanah dikeluarkan, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi tanah kepada TR dengan nilai Rp6,4 miliar," kata Ali.
Berdasarkan penyidikan, kata Ali Rasab, perbuatan melawan hukum diduga dilakukan tersangka M yakni menerbitkan sertifikat hak milik di atas tanah negara dengan tujuan dijual kembali kepada negara. Serta diduga memanipulasi beberapa dokumen persyaratan permohonan sertifikat hak milik tanah.
Sedangkan dugaan perbuatan melawan hukum tersangka TY, kata Ali Rasab, melakukan musyawarah dengan panitia pengadaan tanah tanpa kuasa pemegang hak dan alas tanah. TY juga menerima pembayaran ganti rugi atas tanah untuk pembangunan Makodim tersebut. TY juga diduga memanipulasi beberapa dokumen persyaratan permohonan sertifikat hak milik.
"Untuk tersangka TR, diduga mengajukan permohonan sertifikat hak milik atas tanah negara dengan tujuan menjual kembali kepada negara. TR juga menerima pembayaran ganti rugi tanah tersebut serta memanipulasi dokumen persyaratan permohonan sertifikat hak milik," kata Ali.