Eksklusif, Ketua Dewan Pakar PABOI Ferdiansyah: Setelah Diilmiahkan Pengobatan Alternatif Bisa Jadi Aset Dunia Medis Kita  

Pengobatan alternatif sejatinya bukan hal yang baru di dunia kesehatan. Belakangan pengobatan alternatif Ida Dayak viral dan bikin heboh masyarakat. Menurut  Prof. Dr. dr. Ferdiansyah, SpOT(K) sebagai Ketua Dewan Pakar Perhimpunan Ahli Bedah Orthopaedi Indonesia (PABOI) jika pengobatan ini bisa diilmiahkan dapat menjadi aset dunia medis kita.

***

Besarnya animo masyarakat untuk mendapat pengobatan dari Ida Dayak membuat pengobatan yang diprakarsai oleh Kostrad di GOR Divit 1 Kostrad Cilodong, Depok tanggal 3 dan 4 April 2023 harus dibatalkan demi mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Perempuan bernama asli Ida Andriani itu pun harus dievakuasi petugas dari massa yang menyemut. Padahal dia sudah siap dengan pakaian kebesarannya –baju khas Dayak dengan warna hitam dan kuning-- untuk memberikan pengobatan alternatif kepada masyarakat.

Sebelum ini publik juga pernah terhipnotis dengan pengobatan  alternatif yang dilakukan dukun  cilik Ponari di Jombang, Jawa Timur. Lalu ada juga praktisi pengobatan alternatif bernama Ningsih Tinampi dari Pasuruan, Jawa Timur yang mengklaim bisa menyembuhkan COVID-19. Dan juga ada Umi Zubaidah praktisi alternatif yang mengobati mendiang Olga Syahputra. “Awalnya booming, lama-lama menghilang sendiri,” kata dokter yang praktek di RSUD Dr. Sutomo ini.

Ia melanjutkan, sebenarnya pengobatan alternatif sudah ada sejak lama. Namun ada yang berkembang bagus dan menjadi cabang dari disiplin ilmu kedokteran seperti akupuntur. Begitu juga dengan jamu dan obat herbal Indonesia juga berkembang dan menjadi obat herbal terstandardisasi setelah melewati uji praklinik dan uji klinik. Namun banyak juga yang jalan di tempat alias tak berkembang.

“Sekarang sudah ada dokter spesialis akupuntur. Jadi yang tadinya pengobatan akupuntur masuk dalam katagori alternatif, kemudian dilakukan saintifikasi atau proses pengilmiahan. Setelah diteliti ternyata memang bermanfaat. Kemudian digunakan seperti cabang kedokteran lainnya,” katanya.

Dalam konteks Ida Dayak, jika dia atau ada pihak-pihak yang bisa melakukan saintifikasi untuk metode pengobatan dan berapa besar efikasi pengobatan yang dilakukan menurut Ferdiansyah itu bisa menjadi khasanah pengobatan medis di Indonesia. Tapi kalau tidak ada harus berhati-hati. “Jadi pengobatan alternatif itu tidak salah. Tapi harus ada pembuktiannya. Kalau itu bisa dibuktikan soal khasiat pengobatannya akan menjadi khasanah pengobatan bangsa kita. Dan kalau bisa diilmiahkan seperti akupuntur akan bermanfaat untuk banyak orang,” katanya kepada Edy Suherli dari VOI yang melakukan wawancara secara daring belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.

Pemerintah, kata Prof. Dr. dr. Ferdiansyah, SpOT(K) sebagai Ketua Dewan Pakar PABOI) perlu menukung pengobatan alternatif agar bisa disaintifikasi. (Foto dok Pribadi, DI: Raga VOI)

Belakangan ini viral pengobatan alternatif Ida Dayak, dia disebutkan bisa  penyembuhkan beragam penyakit termasuk patah tulang, bagaimana Anda melihat fenomena ini?

Bicara soal pengobatan yang sedang viral di media soal ini, berhubungan dengan alternative medicine (pengobatan alternatif) atau complementary medicine. Terapi alternatif itu sudah ada sejak dulu dan menjadi tradisi. Dulu kita beranggapan terapi alternatif hanya ada di dunia timur, ternyata di dunia barat juga ada. Dalam fenomena ini ada berapa hal yang saling berkaitan. Pertama meski kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran yang sudah sedemikian maju, ternyata masih banyak penyakit yang belum bisa ditangani.  Yang kedua dari sisi tradisi, di berbagai negara memang punya tradisi penyembuhan. Dan ketiga dari pasien, yaitu orang-orang yang vulnerable (rentan). Orang yang merasa sudah amat terpuruk dengan penyakitnya, seperti pasien gagal ginjal yang terus-menerus melakoni hemodialisa (cuci darah). Atau pasien yang kanker stadium lanjut, stroke dan juga orang yang patah tulang belakang dan akibatnya lumpuh permanen. Mereka tetap mencari kesembuhan meski sudah menjalani pengobatan medis.

Ada energi lebih untuk mencari pengobatan meski sudah menempuh pengobatan medis?

Dalam konteks yang ketiga, pasien itu akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan perawatan terbaik agar bisa pulih kembali. Orang yang vulnerable ini gampang terpengaruh untuk mencari alternatif apa saja yang bisa membuatnya sembuh. Kalau perlu sembuh secepat mungkin, karena sudah bosan berobat.  

Ibu Ida Dayak ini tidak memungut biaya dalam pengobatannya, pasiennya hanya disarankan membeli obat gosok seharga Rp50.000, tanggapan Anda?

Kalau soal biaya setelah  ada BPJS atau asuransi lainnya sedikit tertangani. Tetapi bisa jadi hal itu menjadi daya tarik. Saya tidak mau menanggapi orang perorang. Soalnya apa yang dilakukan itu (pengobatan alternatif) tidak bisa dibilang salah dan tidak bisa juga dibilang benar. Tergantung dari sudut mana melihatnya. Setiap orang normal kalau sakit ingin berobat dan sembuh. Masalahnya dalam pengobatan alternatif ini, pertama metodenya tidak jelas, kita tidak tahu mekanisme yang dia lakukan. Kedua belum ada sesuatu yang menyatakan soal efektivitas pengobatan yang dia lakukan dengan jelas. Kalau dari seribu orang yang sembuh baru 1, 2, 3, 4, dan 5 lima orang itu artinya kebetulan saja.

Berikutnya adalah efek samping dalam pengobatan pasien apa? Ada atau tidak. Makanya saat menemukan pengobatan baru yang menjadi pertimbangan adalah keamanan pasien atau do no harm. Soal obatnya nanti efektif atau tidak efektif itu masalah lain. Jadi jangan menambah penderitaan pasien. Baru kita bicara soal efikasi obat yang diteliti.

Jadi tidak boleh terburu-buru menghakimi pengobatan alternatif?

Ada yang dulu dikatagorikan pengobatan alternatif kemudian berkembang menjadi bagus, contohnya akupuntur. Sekarang sudah ada dokter spesialis akupuntur. Jadi yang tadinya pengobatan akupuntur masuk dalam katagori alternatif, kemudian dilakukan saintifikasi atau proses pengilmiahan. Setelah diteliti ternyata memang bermanfaat. Kemudian digunakan seperti cabang kedokteran lainnya.

Prof. Dr. dr. Ferdiansyah, SpOT(K) menyarankan untuk banyak membaca sebelum memutuskan ke pengobatan alternatif. (Foto dok Pribadi, DI: Raga VOI)

Untuk konteks Indonesia apakah ada obat tradisional yang diilmiahkan?

Itu terjadi pada  jamu dan obat herbal. Karena ada khasiatnya akhirnya diberi dukungan oleh Kemenkes dan BPOM. Statusnya dari jamu meningkat menjadi obat herbal terstandardisasi dan selanjutnya fitofarmaka. Jadi sudah ada standarnya dan sudah melewati uji praklinik dan uji klinik.

Dan yang penting untuk dicatat buat semua masyarakat tidak ada satu obat yang bisa menyembuhkan semua jenis penyakit. Yang ada sebuah obat itu spesifik bisa menyembuhkan pada suatu penyakit atau kelompok penyakit tertentu. Kalau seseorang menyatakan obatnya bisa menyembuhkan semua penyakit, kita harus bertanya ini benar atau tidak? Biasanya banyak tidak benarnya.

Jadi apa yang dilakukan Ida Dayak ini harus dicermati dan diteliti lebih lanjut?

Ya, harus dicari fakta-fakta dari pengobatan yang dia lakukan. Kalau dia bersedia, calon pasiennya dicek dulu oleh tenaga medis yang netral. Lalu setelah dia obati dilakukan evaluasi. Jadi informasinya terbuka. Fenomena seperti Ida Dayak ini tidak terjadi kali ini saja, sebelumnya pernah juga terjadi. Selalu awalnya booming kemudian hilang dengan sendirinya.

Bagaimana dengan praktek yang dilakukan dukun patah tulang?

Dukun patah tulang itu menerima pasien yang patah tulang atau nyeri pada anggota gerak. Nyeri itu bisa macam-macam penyebabnya. Tulang itu adalah organ yang istimewa. Dia bisa retak saja atau patah sampai bergeser. Kondisinya bisa memendek atau bengkok. Ada juga yang patahnya terbuka (menembus daging), ini berbahaya. Dan ada juga patah yang tertutup, tanpa luka.

Kenapa tulang itu istimewa, kalau dia patah bisa sembuh dalam kondisi normal dan bengkok. Jadi tulang yang patah bisa sembuh tapi dalam keadaan bengkok. Yang paling sering terjadi pada paha, itu patahnya overlapping, jadinya memendek. Kalau dia cuma retak saja tanpa pergeseraan tak perlu dibawa ke mana-mana nanti sembuh sendiri. Yang menyembuhkannya Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Dokter hanya memfasilitasi saja. Tubuh kita dengan sistem yang ada akan menormalisasi tulang yang retak. Seperti penyembuhan yang terjadi pada luka. Jadi begitu fenomenanya kalau patah tulang.

Kalau kita saksikan di banyak video yang beredar soal praktek meluruskan tulang bengkok yang dilakukan Ida Dayak, bagaimana Anda mengamatinya?

Untuk pengobatan alternatif  itu yang paling penting buktinya harus ada. Yang kita lihat ada yang diluruskan pada lengan atas biasanya terjadi akibat pengobatan oleh dukun patah tulang yang tidak sembuh. Kalau tidak sembuh dia akan membentuk pseudo-arthosis atau sendi palsu, jadi ditekuk tidak sakit. Karena tulang yang patah itu tidak nyambung, jadinya seperti sendi. Saya lihat juga ada aksi meluruskan, memang lurus, tapi saat dilepas akan bengkok lagi. Itu butuh disanggah dengan alat. Solusinya operasi dengan pencangkokan tulang.

Apa saran Anda untuk masyarakat menghadapi fenomena pengobatan alternatif seperti Ida Dayak ini?

Kita harus banyak membaca dan membaca, teliti dulu sebelum datang ke tempat itu. Jangan hanya mengandalkan informasi dari medsos. Sekarang eranya medsos, sebarannya luar biasa masif. Kita yang harus teliti dan menyeleksi informasi yang masuk. Jangan ikut-ikutan hanya melihat info kalau pengobatan itu bisa mengatasi atau menyembuhkan penyakit ini dan itu sementara kita tidak punya info yang lengkap. Jadi literasi itu penting sekali agar tidak kecewa nantinya.

Dan jangan menerima atau melakukan tindakan yang membahayakan. Kaidahnya dalam dunia kedokteran kalau ada sesuatu yang baru adalah faktor keaman nomor satu, alias do no harm. Jadi sekali lagi kepada semua masyarakat hati-hati, cermati dulu informasi yang Anda terima. Jangan hanya ikut-ikutan. Ingin sembuh itu wajar, tapi harus menempuh cara yang benar, terstruktur dan terstandar.   

Selama pengobatan alternatif ada bukti oke saja?

Saya juga membimbing penelitian mahasiswa S3 soal terapi herbal. Dia melakukan penelitian dan ada pembuktiannya. Ada juga penelitian kesehatan tentang terapi zikir, itu juga ada pembuktiannya. Tapi sekali lagi itu bukan untuk segala macam penyakit. Tidak ada obat dewa yang bisa sembuhkan semua jenis penyakit. Kalau ada yang berani mengklaim seperti itu, hati-hati itu sudah tidak benar. 

Jadi pengobatan alternatif itu tidak salah. Tapi harus ada pembuktiannya. Kalau itu bisa dibuktikan soal khasiat pengobatannya akan menjadi khasanah pengobatan bangsa kita. Dan kalau bisa diilmiahkan seperti akupuntur akan bermanfaat untuk banyak orang.

Apa saran Anda pada pemerintah saat menghadapi fenomena seperti Ida Dayak ini, bukan tidak mungkin di masa yang akan datang muncul lagi?

Harus ada edukasi pada masyarakat soal cara hidup sehat dan benar, cara berobat yang benar. Dan tindakan preventif yaitu mencegah datangnya penyakit itu lebih baik daripada mengobati. Soalnya kuratif itu biasanya jauh lebih mahal daripada preventif. Regulasi soal izin juga harus ditegakkan untuk pengobatan alternatif, mana yang diizinkan dan mana yang tidak. Dan saya kira pemerintah juga perlu support untuk proses pengilmiahan obat-obatan tradisional yang potensial. Seperti penelitian untuk obat herbal dan jamu.  Dari organisasi profesi seperti kami juga bisa melakukan edukasi kepada masyarakat. Untuk yang sudah teredukasi tetap literasi, baca dan teliti sebelum melakukan tindakan. Untuk masyarakat yang awam, lebih amannya bertanya kepada tenaga medis yang ada di fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta.  

Bergerak Adalah Kunci Kebugaran Profesor Ferdiansyah

Bergerak adalah kunci kebugaran Prof. Dr. dr. Ferdiansyah, SpOT(K). Ia mewajibkan mahasiswa binaanya untuk berolahraga agar stamina terjaga. (Foto dok Pribadi, DI: Raga VOI)

Sebagai seorang profesional Prof. Dr. dr. Ferdiansyah, SpOT(K) harus selalu memiliki fisik yang prima. Agar saat melakukan tindakan pada pasien bisa akurat. Karena itu dia yang juga sebagai Ketua Dewan Pakar Ketua Dewan Pakar Perhimpunan Ahli Bedah Orthopaedi Indonesia (PABOI) mewajibkan mahasiswa bimbingannya untuk melakukan aktivitas olahraga untuk menunjang kebugaran.

“Olahraga apa saja, yang penting bergerak. Dulu saya aktif main badminton, tapi sekarang seiring dengan bertambahnya usia saya beralih ke tenis meja,” ungkapnya.

Selain sebagai dokter di RSUD. Dr. Soetomo Surabaya, Ferdiansyah juga mengajar di jenjang S1, S2 dan S3  di Departemen Orthopaedi & Traumatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD. Dr. Soetomo Surabaya. “Saya punya tugas pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat,” katanya.

Untuk menelitian ia berusaha menghasilkan alat kesehatan (alkes). Soalnya saat ini kata dia 95 persen alkes di Indonesia impor. Inilah yang membuat dia makin bersemangat menghasilkan sesuatu dalam penelitiannya. “Kita berupaya untuk berkontribusi menghasilkan produk alkes asli dalam negeri. Sesuai dengan bidang keilmuan, saya mengembangkan bank jaringan,” ungkap pria kelahiran 12 Februari 1964 ini.

Bank Jaringan adalah tempat menampung organ tubuh (tulang, ari-ari, urat) dari sumbangan pada pedonor organ tubuh. Saat ada yang membutuhkan organ tertentu bisa disumbangkan kembali.

Ferdiansyah menilai masyarakat Indonesia masih rendah kesadarannya untuk mendonasikan organ tubuhnya. “Karena sulit untuk mendapatkan organ manusia, kami mengambil tulang untuk cangkok dari sapi. Permintaan untuk tulang untuk kebutuhan cangkok ini amat besar. Itu yang saya kerjakan di luar sebagai dokter dan dosen,” ungkap Ketua Asosiasi Bank Jaringan Indonesia ini.

Bergerak

Selain berolahraga, Prof. Dr. dr. Ferdiansyah, SpOT(K), juga membatasi asupan nasi dan makanan mengandung gula. (Foto dok Pribadi, DI: Raga VOI)

Dulu saat usianya masih belia, Ferdiansyah aktif bermain badminton sekarang dia beralih ke tenis meja. “Suatu masa ada masalah di tendon achilles saya, suka sakit. Olahraga itu penting, makanya saya beralih ke olahraga yang lebih ringan yaitu tenis meja,” ungkapnya.

Karena beratnya tugas seorang dokter, terutama saat operasi, ia mewajibkan mahasiswanya untuk menekuni salah satu cabang olahraga. “Kalau sudah operasi waktunya bisa berjam-jam. Jika tak punya fisik yang kuat bisa repot. Makanya saya wajibkan mahasiswa untuk menekuni olahraga, apa saja boleh,” terang Ferdiaysah yang menyelesaikan S1 Kedokteran di Universitas Negeri 11 Maret, lalu melanjutkan S2 di Spesialis Orthopaedi & Traumatologi Unair dan S3 juga di Unair.

Dalam dunia Orthopaedi lanjut dia, semboyannya adalah life is movement, movement is life. Jadi memang harus bergerak atau olahraga. “Olahraga apa saja, sesuaikan saja dengan kondisi fisik dan umur. Kuncinya harus bergerak,” tukasnya.

Untuk makanan, dia sudah mengurangi asupan nasi dan gula. “Pola hidup kita sebagai dokter itu memang tidak ideal, operasinya sampai malam bahkan dini hari. Karena itu olahraga dan asupan makanan harus dijaga. Sekarang nasi dan gula saya kurangi, yang diperbanyak sayur dan protein,” lanjut Ferdiansyah yang kini bisa merasakan kopi yang original tanpa tambahan gula.

Kiat Sukses

Prof. Dr. dr. Ferdiansyah, SpOT(K), menyarankan kepada anak muda untuk punya cta-cita yang tinggi. (Foto dok Pribadi, DI: Raga VOI)

Tak ada pilihan untuk meraih cita-cita harus fokus pada tujuan. “Perlu sekali membuat cita-cita yang tinggi. Seperti nilai ujian targetnya harus 10, kalau meleset sedikit di 9 atau 8 kan lumayan,” kata Guru Besar dan Ketua Program Studi Orthopaedi & Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini.

Harus punya mimpi, dan kalau sungguh-sungguh, kata Ferdiansyah mimpi itu akan tercapai meski tidak 100 persen. “Harus punya dream yang tinggi. Dengan itu kita punya semangat untuk mewujudkannya,” ujarnya.

>

Ilmu pengetahuan terus berkembang dan makin dalam belajar makin banyak yang tidak tahu. “Jadi tidak boleh sombong saat sudah mencapai strata pendidikan di level tertentu. Fenomena di dunia kedokteran itu tak ada habis-habisnya. Contohnya saat pandemi COVID-19 yang lalu, riset terus dilakukan untuk mencari obat dan vaksin buat melawan virus itu,” kata Ferdiansyah.   

"Tidak ada obat dewa yang bisa sembuhkan semua jenis penyakit. Kalau ada yang berani mengklaim seperti itu, hati-hati itu sudah tidak benar,"

Prof. Dr. dr. Ferdiansyah, SpOT(K)