Klarifikasi Bea Cukai Atas Dugaan Pencucian Uang Rp189 Triliun Emas Batangan

JAKARTA – Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara memberikan pernyataan perihal dugaan transaksi pencucian uang sebesar Rp189 triliun di Direktorat Jenderal Bea Cukai yang terkait ekspor emas batangan.

Dalam keterangannya, Suahasil menyebut bahwa persoalan ini berawal pada 21 Januari 2016 saat jajaran Bea Cukai (BC) di Soekarno-Hatta mendapati sebuah perusahaan yang ingin melakukan ekspor 218 kg emas dengan nilai devisa sebesar 6,8 juta dolar AS.

“Dalam dokumen disebut ekspor perhiasan tetapi ternyata ingot (emas batangan). Disitu distop oleh BC karena setelah diteliti ada potensi tindak pidana kepabeanan,” ujarnya saat kepada awak media pada Jumat, 31 Maret.

Suahasil menambahkan, setelah itu dilakukan penelitian, penyidikan, hingga ke tingkat pengadilan. Pada 2018 dilakukan sidang atas kasus tersebut di pengadilan negeri dengan hasil BC kalah.

“Bea Cukai kemudian mengajukan kasasi. Di tingkat ini BC menang,” katanya.

Pada 2019 dilakukan proses peninjauan kembali (PK) putusan kasasi atas permintaan terlapor (perusahaan).

“Di tingkat PK, Bea Cukai kalah lagi dengan putusan tidak terbukti tindak pidana kepabeanannya. Perlu diketahui bahwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) selalu terkait dengan tindak pidana asal. Kalau tindak pidananya itu tidak terbukti oleh pengadilan, ya TPPU-nya tidak bisa,” jelasnya.

Dari periode 2016-2019 inilah, sambung Suahasil, masuk data yang ada nama Pak Heru (Dirjen Bea Cukai periode 2015-2021) yang disebut.

Lebih lanjut, wakil Sri Mulyani itu mengungkapkan jika pola transaksi yang sama kembali terulang pada 2020. Disebutkan bahwa saat itu Kemenkeu membangun komunikasi lanjutan dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“Ini ditindaklanjuti dengan beberapa rapat. Sampai kemudian Agustus 2020 dalam sebuah rapat dikatakan kalau modusnya sama, kasus 2016-2019 kita sudah dikalahkan oleh pengadilan soal tindak pidana kepabeanan. Dengan logika itu maka pada Agustus 2020 disepakatilah kalau tindak kepabeanannya tidak kena maka kejar pajaknya,” ucap Suahasil.

Adapun, pernyataan resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas konteks ini adalah sebagai berikut.

“Berkaitan dengan pemeriksaan PPATK, Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap tiga wajib pajak (PT B , PT C, PT D), pemeriksaan terhadap tiga wajib pajak (PT B, PT C, PT E) dan pengawasan terhadap tujuh wajib pajak orang pribadi. Hingga saat ini nilai penerimaan pajak yang dihasilkan terkait dengan informasi hasil pemeriksaan PPATK tersebut adalah Rp16,8 miliar dan mencegah restitusi pajak senilai Rp1,6 miliar,” sebut DJP seperti yang disampaikan oleh Wamenkeu Suahasil Nazara.

Sebelumnya, sorotan terhadap ‘emas panas’ dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD saat rapat kerja dengan Komisi III DPR tengah pekan ini.

Mahfud menyampaikan dugaan pencucian uang oleh sejumlah perusahaan dalam bentuk transaksi emas senilai Rp189 triliun.

"Laporannya, impor emas batangan tapi di surat cukai dibilang emas mentah, diperiksa oleh PPATK diselidiki, alasannya emas mentah dicetak di Surabaya, tapi dicek nggak ada pabriknya, menyangkut miliaran dari tahun 2017 oleh PPATK. Tahun 2020 dikirim lagi ke bu Sri Mulyani tapi tidak sampai juga setelah dua tahun," kata dia seperti yang diberitakan VOI sebelumnya.