Sengkarut Pajak PGN dan DJP: Ambiguitas Hukum yang Menghambat Investasi

JAKARTA - Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono mengatakan sengketa pajak antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dengan Direktorat Jenderal Pajak merupakan salah satu hambatan bagi investasi di Indonesia.

“Ambiguitas hukum perpajakan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada solusi yang tuntas,” ujarnya dalam sebuah webinar Rabu, 13 Januari.

Dia mencatat, survei World Economic Forum 2017 menempatkan peraturan pajak sebagai faktor kesembilan yang menghambat bisnis di dalam negeri.

“Sengketa ini muncul lantaran perbedaan penafsiran soal status gas bumi sebagai objek pajak,” tuturnya.

Alhasil, majelis hakim Pengadilan Pajak mengabulkan permohonan PGN. Sementara majelis hakim MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan Ditjen Pajak.

Baik PGN, Ditjen Pajak, dan MA sama-sama merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU PPN beserta penjelasannya. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu termasuk barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.

“Nah, frase yang diambil langsung dari sumbernya ini telah menimbulkan multitafsir,” tegas Prianto.

Berdasarkan uraian penjelasan pasal tersebut, ada dua titik multitafsir, yaitu: frase termasuk gas bumi seperti elpiji dan frase yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat.

PGN lanjut Prianto, juga berpegang pada surat konfirmasi dari Kantor Pelayanan Pajak Badan Usaha Milik Negara (KPP BUMN) pada 19 Agustus 2009.

Dalam surat tersebut, seperti termuat dalam laporan keuangan PGAS tahun 2017, KPP BUMN mengkonfirmasi kepada PGN bahwa gas bumi merupakan salah satu jenis barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya yang masuk dalam kelompok yang tidak dikenakan PPN.

"Sementara teman-teman di Ditjen Pajak bilang yang tidak kena PPN itu, misalnya Ketika PGN beli dari PHE (Pertamina Hulu Energi). Tapi barang yang sudah ada di PGN dan di trader itu barang yang kena pajak," ucapnya.

Adapun, terkait permohonan PK yang diajukan Ditjen Pajak ke MA menurut Prianto terdapat risiko yang muncul selama proses peradilan.

"Sementara di level MA, bisa jadi hakimnya tidak punya pengetahuan yang cukup soal pajak. Tapi saya tidak tahu persis kondisinya bagaimana karena persidangannya juga berlangsung tertutup," pungkas Prianto.