Resensi Buku Sagu Papua untuk Dunia–Sebuah Optimisme dari Bumi Nusantara
JAKARTA - “Makan rasanya tak kenyang kalau belum makan nasi.” Pendapat tersebut bakal banyak diamini oleh segenap masyarakat Indonesia yang menghuni sebagian pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Namun, anggapan berbeda didapat kala pertanyaan diarahkan kepada mereka yang menghuni Pulau Sulawesi dan Papua. Mereka justru akan berucap: Makan rasanya tak kenyang kalau belum makan sagu.
Perbedaan persepsi tentang kenyang dan keragaman makanan pokok itulah yang membuktikan bahwa bumi nusantara itu beragam bukannya seragam. Namun, kalau dianalisis lebih dalam, atau memutar waktu hingga ribuan tahun ke belakang.
Sebuah fakta menarik akan muncul. Fakta yang memuat sebelum masyarakat Indonesia seragam mengkonsumsi nasi, ada tanaman sagu (metroxylon sp) yang mulai dikenal oleh masyarakat sebagai solusi dari ketahanan pangan sedari dulu.
Sagu Papua untuk dunia
Sekali pun kini sagu hanya menjadi alternatif makanan pokok di nusantara, tapi optimisme akan tanaman sagu akan berjaya kembali sebagai solusi ketahanan pangan untuk Indonesia ke depan, turut dihadirkan oleh Ahmad Arif dalam bukunya berjudul "Sagu Papua Untuk Dunia".
Menariknya, buku dengan dengan total 208 halaman ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama adalah Tanah Asal Sagu. Lalu, dilanjutkan dengan Sagu adalah Ibu, Lapar di kampung Sagu, Sumber Pangan Masa Depan, dan Sagu Papua untuk Dunia.
Bagian pertama, Tanah Asal Sagu. Ini adalah bagian yang paling menarik dari buku karya jurnalis Kompas, Ahmad Arif. Betapa tidak. Di bagian ini lah sejarah sagu secara panjang lebar terungkap. Mulai dari awal sagu dikenal seantero Nusantara, bukan cuma di Sulawesi dan papua saja.
Saat itu, sagu sudah menjadi makan pokok di Nusantara. Bahkan sejak jauh-jauh hari sebelum Belanda mendaratkan kaki di bumi pertiwi. Salah satu buktinya adalah penjelajahan petualang terkenal abad ke-13, Marco Polo.
Berdasarkan penjelajahannya ke Nusantara, Marco Polo turut menggambarkan kalau sagu memiliki peranan penting sebagai sumber pangan masyarakat, selain beras.
“Anda harus tahu bahwa mereka memiliki jenis pohon yang memiliki kulit tipis dan di dalamnya terdapat tepung yang sangat baik untuk dimakan. Dan saya katakan lebih lanjut kepada Anda bahwa Tuan Marco Polo telah mencoba tepung ini dan membuat roti (yang) sangat enak dimakan,” tertulis dalam halaman 19.
Penulis turut mengungkap, jika di runut lagi ke tahun belakangnya, maka sebuah fakta menarik tentang sagu telah hadir sejak zaman Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan. Kala itu, sagu pernah menjadi sumber pangan penting yang mampu menopang kebutuhan sumber pangan kerajaan. Hal itu terlihat dari prasasti Talang Tuo dari abad ketujuh.
Dalam prasasti Talang Tuo disebutkan tentang Taman Sri Ksetra yang dibuat oleh Raja Sriwijaya. Di dalam taman itu juga tumbuh aneka tumbuhan. Antara lain, pohon sagu, kelapa, pinang, bambu, dan aren. Terkait Kebenaran isi prasasti, empunya tulisan merujuk realita kekinian, lewat banyaknya kuliner khas setempat yang menjadikan sagu sebagai bahan utama. Pempek adalah yang paling populer.
Bagian kedua, Sagu adalah Ibu. Bagian ini memuat narasi terkait arti penting sagu bagi masyarakat Papua hingga sagu dianggap sebagai sumber pangan awal yang dikonsumsi manusia modern (homo sapiens) saat tiba di Asia Tenggara.
Bukti itu ditampilkan oleh penulis lewat rekaman wawancara dengan salah satu Tokoh adat Kampung Saga, Kecamatan Metemani, kabupaten Sorong, Yosua Muguratatu. Darinya didapat pemahaman bahwa sagu seperti ibu bagi orang papua.
Bukan hanya sebagai sumber pangan. Sagu juga merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan mereka. Jika orang papua meninggalkan sagu, mereka akan kehilangan akar hidupnya.
Bagian ketiga, Lapar di Kampung Sagu. Pada bagian ini, penulis mengungkap narasi penyeragaman pangan yang alih-alih mengentaskan masalah gizi buruk malah membuat Papua sebagai lumbung sagu mendapat predikat pernah disinggahi oleh masalah tersebut.
Masyarakat yang semula memiliki ragam makanan pokok. Mulai beralih ke beras, dan juga gandung dalam bentuk mi instan. Akibat penyeragaman itu, mereka yang biasanya hidup dalam nutrisi cukup, kini hanya bisa menanti makanan pokok yang sukar tumbuh di wilayahnya.
Bagian keempat, Sumber Pangan Masa Depan. Meski makanan pokok sudah diseragamkan dengan beras. Seiring waktu, laju penduduk yang terus berkembang, membuat negara ini pun turut mengimpor beras untuk memenuhi pangan nasional.
Narasi itulah yang diangkat oleh penulis sehingga sagu dapat menjadi jawaban untuk terpenuhinya stok pangan nasional. Buktinya, jika beras bergantung pada cuaca dan musim, maka berbeda dengan sagu yang sama sekali tak bergantung pada musim.
Selain itu, sagu pun memiliki fleksibelitas penggunaan dan juga banyak kandungan nutrisi, baik yang menjadikannya sebagai produk olahan, serta berbagai fungsi lain seperti bahan baku gula dan bioethanol.
Bagian kelima, Sagu Papua untuk Dunia. Dalam bagian ini, penulis menggungkap tentang peluang dan tantangan dari sagu Papua. Sehingga segenap masyarakat Indonesia menjadi optimis terkait masa depan dari Sagu Papua akan menandingi bahkan melampaui negara tetangga Malaysia sebagai market leader di pasar ekspor sagu dunia.
Penuh inspirasi
Membaca habis buku ini jelas membawa kita menambah khazanah dalam berpikir. Sehingga, siapa pun yang membaca akan dibawa menikmati narasi sejarah dari sagu, keunggulan sagu, mereka yang sehari-hari memanfaatkan sagu dan mereka yang berjuang agar sagu semakin dikenal secara nasional dan juga dunia.
Bahkan, orang-orang yang membacanya akan mengganggap sagu bukan cuma sebagai sumber pangan. Terlebih, sagu sudah menjadi komponen penting untuk tempat tinggal. Daunnya menjadi atap dan pelepahnya menjadi dinding rumah, sedangkan kulit batangnya yang dapat menjadi lantai rumah panggung.
Ilmu baru, cara bertutur yang menarik, serta referensi yang ciamik, merupakan ramuan penulis dalam mengajak pembaca untuk sejenak peduli, sejenak berpikir, sejenak mengajak untuk menggelorakan sagu sebagai solusi dari ketahanan pangan nusantara, juga dunia.
Akhir kata, untuk melengkapi keseluruhan resensi, ada baiknya melampirkan kembali penggalan pidato Presiden Pertama Indonesia, Bung Karno di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1952. Ia mengungkap:
Kenapa kita harus membuang deviden 120 sampai 150 juta dolar kita pergunakan tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu.
Detail:
Judul Buku: Sagu Papua untuk Dunia
Penulis: Ahmad Arif
Terbit Pertama Kali: November 2019
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Jumlah Halaman: 208