PBB, AS hingga Uni Eropa Kompak Kutuk Pernyataan Menteri Israel yang Tidak Akui Bangsa Palestina
JAKARTA - PBB, Uni Eropa hingga Amerika Serikat kompak mengutuk keras pernyataan seorang menteri Israel, yang tidak mengakui keberadaan bangsa dan kebudayaan Palestina.
Selain pernyataan kontroversialnya, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich juga membuat marah negara tetangga Yordania, karena berbicara di podium yang ditutupi dengan apa yang tampak seperti variasi bendera Israel yang menunjukkan negara Israel dengan batas-batas yang diperluas yang mencakup Tepi Barat, Yerusalem Timur, Gaza dan Yordania.
"Apakah ada sejarah atau budaya Palestina? Tidak ada," katanya dalam cuplikan pidato yang ia sampaikan pada Hari Minggu di sebuah konferensi di Prancis yang disebarkan secara luas di media sosial, melansir Reuters 21 Maret.
"Tidak ada yang namanya bangsa Palestina," sambungnya.
Smotrich, yang mengepalai partai nasionalis-religius dalam koalisi sayap kanan Pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, berpidato pada Hari yang sama ketika para pejabat Israel dan Palestina bertemu di resor Sharm el-Sheikh, Mesir, untuk melakukan perundingan de-eskalasi menjelang Bulan Suci Ramadan dan Hari Raya Paskah bagi umat Yahudi.
Menanggapi pernyataan kontroversial tersebut, Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengutuk pernyataan Smotrich, dengan mengatakan bahwa hal itu merupakan hasutan untuk melakukan kekerasan.
Sementara, Wakil Juru Bicara PBB Farhan Haq menggambarkan pernyataan Smotrich sebagai "sama sekali tidak membantu," katanya kepada wartawan di New York.
"Jelas sekali, di sana sangat jelas dan nyata ada rakyat Palestina. Hak-hak mereka dijunjung tinggi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa."
Terpisah, Yordania, yang berdamai dengan Israel pada tahun 1994, menyuarakan kemarahannya atas bendera yang ada di atas panggung di sampingnya, mengatakan bahwa mereka telah memanggil Duta Besar Israel untuk melakukan protes.
"Ini adalah perilaku provokatif yang tidak bertanggung jawab dari seorang menteri yang sedang menjabat, melanggar norma-norma internasional serta perjanjian perdamaian Yordania-Israel. Perilaku ekstremis ini mendorong ke arah eskalasi," kata Sinan al Majali, juru bicara Kementerian Luar Negeri Yordania.
Yordania meminta pemerintah Israel untuk mengambil sikap yang "jelas dan jujur", tegas Majali.
Belakangan, Kementerian Luar Negeri Israel kemudian menulis di Twitter: "Israel berkomitmen pada perjanjian damai 1994 dengan Yordania. Tidak ada perubahan dalam posisi Negara Israel, yang mengakui integritas teritorial Kerajaan Hashemite."
Sedangkan seorang juru bicara Smotrich mengatakan, bendera tersebut merupakan dekorasi dari penyelenggara konferensi, menekankan menteri tersebut adalah seorang tamu.
Sebuah pernyataan dari Kementerian Luar Negeri Palestina mengatakan, dengan menyangkal keberadaan rakyat Palestina dan hak-hak nasional mereka yang sah di tanah air mereka, para pemimpin Israel "menumbuhkan lingkungan yang mendorong ekstremisme Yahudi dan terorisme terhadap rakyat kami".
Pernyataan kontroversial menteri Israel tersebut juga menuai kritik dari para sekutu Barat.
"Kami benar-benar keberatan dengan bahasa semacam itu," kata John Kirby, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS.
"Kami tidak ingin melihat retorika, tindakan atau retorika apa pun... yang dapat menghalangi atau menjadi penghalang bagi solusi dua negara yang layak, dan bahasa seperti itu," kritik Kirby.
Sementara, Uni Eropa mengatakan mereka "dengan tegas menyesalkan komentar lain yang tidak dapat diterima oleh Menteri Smotrich," dan menyebutnya berbahaya dan kontraproduktif.
Mesir, negara Arab pertama yang menandatangani kesepakatan damai dengan Israel, juga menolak pernyataannya.
Ini bukan kali pertama Smotrich mengeluarkan pernyataan kontroversial Sebelumnya, ia menuai kemarahan dunia ketika mengatakan Desa Huwara Palestina harus "dihapuskan". Ia kemudian mengatakan bahwa ia "salah bicara", tetapi ia tidak meminta maaf.
Diketahui, lonjakan konfrontasi terjadi di Tepi Barat selama setahun terakhir, dengan serangan militer Israel hampir setiap hari dan meningkatnya kekerasan oleh para pemukim Yahudi, di tengah serentetan serangan oleh warga Palestina.
Selama setahun terakhir, pasukan Israel telah menewaskan lebih dari 250 warga Palestina, termasuk pejuang dan warga sipil. Sementara, lebih dari 40 warga Israel dan warga asing tewas dalam serangan-serangan Palestina.
Warga Palestina berusaha mendirikan negara di Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza, wilayah yang direbut Israel dalam perang tahun 1967.
Sementara, perundingan damai yang ditengahi oleh Amerika Serikat telah terhenti sejak tahun 2014, dengan Palestina mengatakan Israel telah merusak harapan mereka untuk mendirikan negara yang layak dengan memperluas permukiman Yahudi di tanah yang diduduki.