Dekan UIN Alauddin Makassar: Terduga Pelaku Pelecehan Bukan Pegawai
MAKASSAR - Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Muammar Muhammad Bakry menegaskan bahwa pria berinisial SS yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswa bukan merupakan staf atau tenaga honorer kampus itu.
Sebelumnya, SS dituduh melakukan perbuatan pelecehan seksual dengan dugaan menyodomi 10 orang mahasiswa sejak tahun 2016. Modusnya pura-pura membantu mahasiswa menyusun skripsi dan bisa mengurus nilai bagus dari dosen.
"Melalui pernyataan resmi ini, saya selaku dekan menyatakan bahwa SS bukan sebagai tenaga kependidikan atau lebih dikenal sebagai tenaga honorer di lingkungan UIN Alauddin Makassar," kata Muammar dalam keterangan di Makassar, Sulawesi Selatan, dilansir ANTARA, Sabtu, 18 Maret.
Ia menekankan terduga pelaku pelecehan itu bukan staf, pegawai, ataupun honorer, tetapi pekerja lepas yang dilibatkan fakultas dalam kegiatan melalui Surat Keputusan (SK) Kepanitiaan yang bersifat adhoc atau sementara.
"SK yang bersangkutan itu telah kami cabut karena sifatnya memang sementara dan hanya jika diperlukan untuk membantu kegiatan. Jadi, tidak ada dasarnya diberhentikan dengan hormat dan atau tidak hormat," ujar Sekretaris MUI Sulsel itu.
Muammar mengemukakan, SS merupakan alumni FSH yang memiliki kemampuan jurnalistik dan IT, dan kadang diminta bantuan membuatkan rilis terkait publikasi setiap kegiatan. Dan setelah dilaporkan korban ke KPKE kampus, dirinya sebagai dekan langsung memanggil SS untuk meminta klarifikasi. Saat itu juga SS diberhentikan dari tugasnya agar fokus menyelesaikan masalahnya.
Tambahnya juga, UIN Alauddin Makassar memiliki Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) yang selalu siap melakukan pendampingan terhadap korban apabila terjadi indikasi pelecehan atau kekerasan seksual.
"Sebagai dekan, tentu sangat disayangkan jika SS melakukan yang disangkakan. Pihak korban berhak untuk melakukan proses lebih lanjut. Namun, sangat disayangkan pula, jika SS tidak melakukan itu, lalu aib diumbar di media. Tentu sangat merusak nama baik lembaga," jelasnya.
Ia berharap dari persoalan ini, seharusnya tetap menjaga asas praduga tak bersalah dan nanti setelah terbukti secara hukum, jika dibutuhkan keterangan bisa disampaikan.