Pertumbuhan Pendapatan Negara Menunjukan Daya Tahan Ekonomi Kuat
JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melaporkan kinerja APBN di awal 2023 masih berada di jalur positif dengan membukukan pertumbuhan pendapatan negara 48,1 persen dibandingkan akhir 2022.
Menurut Menkeu, perolehan pendapatan negara bulan lalu tercatat sebesar Rp232,2 triliun atau setara dengan 9,4 persen dari target APBN.
“Ini tentu mencerminkan kondisi perekonomian secara keseluruhan,” ujarnya dalam keterangan tertulis dikutip Kamis, 23 Februari.
Menkeu menjelaskan, kondisi perekonomian global masih didominasi oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi. Meski demikian, angka pertumbuhan RI relatif impresif dengan 5,3 persen.
“Ini adalah sebuah prestasi sekaligus juga menjadi landasan bahwa kita bisa optimis karena dari sisi perekonomian menunjukkan adanya daya tahan dan momentum pemulihan ekonomi yang sangat kuat,” ungkapnya.
Menkeu menambahkan, ada beberapa hal yang harus diwaspadai ke depan, seperti ketidakpastian harga komoditas, faktor geopolitik, hingga risiko dari perubahan iklim.
“Kalau kita lihat, sekarang perhatian selalu pada pergerakan harga. Kita lihat di sini karena batu bara mulai menurun, kemudian CPO, brent, dan gas menurun, ini tentu memberikan sumbangan terutama inflasi yang berasal dari komoditas energi di negara-negara maju,” tuturnya.
Baca juga:
Bendahara negara juga menyampaikan, tren pemulihan terlihat dari sisi produksi atau sektoral, seperti sektor manufaktur, perdagangan, pertanian, pertambangan, konstruksi dan transportasi.
“Ini yang menggambarkan bahwa pemulihan ekonomi Indonesia bersifat broad base. Seluruh sektor yang dulu terpukul juga sudah mulai kembali,” tegas dia.
Adapun dari sisi neraca pembayaran menunjukan kondisi prima dengan mencatat surplus hingga sebanyak 33 bulan berturut-turut hingga berhasil memecahkan rekor tertinggi.
Sementara arus modal ke surat berharga negara dan pasar obligasi Indonesia juga menunjukkan tren positif. Perbankan dan Bank Indonesia masih menjadi pemilik atau investasi dari kepemilikan surat berharga negara terbesar, dengan kepemilikan asing yang terus menurun.
“Ini tentu karena kinerja dari perekonomian kita dan juga kebijakan fiskal yang sangat prudent menjadi satu faktor yang menentukan confidence terhadap surat berharga Indonesia,” tutup dia.