Merawat Karbon Biru di Pesisir Tanjungpunai

JAKARTA - Bagi sebagian orang, blue carbon atau karbon biru mungkin masih terdengar asing. Begitu pun bagi warga pesisir Tanjungpunai, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang sehari-hari menjalani hidup di tengah lebatnya mangrove.

Mereka terlalu sibuk mengais-kais lumpur untuk mencari berbagai binatang laut, seperti kerang, berung, udang, kepiting, rajungan, siput, dan berbagai binatang lain yang bisa dimakan, atau jika mendapat hasil lebih, bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kesibukan mereka dengan alam yang ada di sekitar semakin menjauhkan dengan berbagai isu yang berkembang di luar, misalnya, pembahasan isu perubahan iklim, efek rumah kaca, dan berbagai isu lingkungan lain yang tengah menjadi topik hangat para petinggi di seluruh dunia.

Bagi mereka, menjaga kelestarian hutan mangrove dan memanfaatkannya secara bijaksana merupakan hal wajib karena mereka sangat sadar dari hutan di pesisir itu digantungkan hidup seluruh anggota keluarga dan keturunan generasi selanjutnya.

Melansir Antara, secara alami warga pesisir menjadikan mangrove sebagai jati diri yang harus tetap hidup, bertumbuh, dan lestari karena mereka yakin melalui kelestarian mangrove akan memberikan kehidupan dari generasi ke generasi.

Seiring dengan peran penting mangrove sebagai penopang kehidupan dan tempat mata pencaharian bagi warga pesisir, ternyata keberadaan tanaman itu memegang peran penting bagi kehidupan seluruh makhluk di Bumi.

Mangrove bukan hanya tempat mencari makan warga pesisir, tempat berkembang biak berbagai binatang laut, dan binatang lain yang ada di hutan itu, namun memiliki peran penting dalam menangkap dan menyimpan karbon biru.

Karbon biru merupakan istilah yang digunakan untuk cadangan emisi karbon yang diserap, disimpan, dan dilepaskan oleh ekosistem pesisir dan laut untuk mengurangi emisi penyebab perubahan iklim dengan memanfaatkan kawasan pesisir, mangrove, lahan basah dan padang lamun (seagrass).

Manfaat lain dari karbon biru, antara lain, sebagai penyerap karbon yang efektif, solusi alami terhadap perubahan iklim yang dipicu oleh efek rumah kaca atau peningkatan jumlah CO2, menjaga kelestarian ekosistem pesisir, dan tentunya sebagai sumber ekonomi masyarakat pesisir dengan memberikan perlindungan ekologi.

Karbon biru ditangkap dan disimpan oleh organisme di kawasan pesisir, samudera melalui proses fotosintesis dan terakumulasi dalam biomassa tanaman mangrove, seagrass, phytoplankton, dan rumput laut.

Karbon biru berbeda dengan green carbon (karbon hijau) atau karbon terestrial yang tersimpan pada biomassa dan tanah pada tumbuhan, hutan, perkebunan, lahan pertanian, dan padang rumput.

Di Indonesia, karbon biru tersebar di ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, hutan bakau, padang lamun, dan lahan gambut di kawasan pesisir.

Potensi karbon biru di Indonesia sangat besar yaitu mencapai 3,4 giga ton (GT) atau sekitar 17 persen dari karbon biru seluruh dunia.

Berdasarkan peta mangrove nasional yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021, total luas mangrove Indonesia 3.364.076 hektare, dengan rincian kondisi mangrove lebat seluas 3.121.239 hektare (93 persen), mangrove sedang seluas 188.363 hektare (lima persen), dan mangrove jarang seluas 54.474 hektare (dua persen).

Karbon biru telah menjadi pembahasan sangat serius di tingkat internasional, bahkan negara-negara Uni Eropa dan Amerika Utara, termasuk yang sangat ambisius dengan menerapkan harga karbon yang tinggi.

Di Indonesia pun isu tersebut juga telah menjadi perhatian pemerintah, terbukti dengan rencana penerapan pajak karbon yang diatur dalam Undang undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pengenaan pajak karbon diperlukan untuk menekan emisi dan mencegah perubahan iklim yang ekstrem. Dalam peraturan tersebut disebutkan harga karbon sekitar Rp30.000/ton.

Warga pesisir Tanjungpunai, Mentok, Kabupaten Bangka Barat bergotong royong membangun sarana pendukung pariwisata mangrove (Foto: Antara)

Penjaga karbon biru

Tanpa disadari, ternyata aktivitas warga pesisir Tanjungpunai yang menjaga alam dan memanfaatkannya secara bijak sana menjadikan mereka salah satu penjaga keberadaan karbon biru yang terkandung dalam hutan mangrove yang ada di kawasan tersebut.

Berdasarkan data Bakosurtanal tahun 2009, mangrove yang berada di Pulau Bangka seluas 47.621 hektare, sedangkan luas mangrove di Tanjungpunai 1.988,7 hektare atau sekitar 4,18 persen.

Jenis tumbuhan mangrove dominan di Tanjungpunai adalah Sonneratia alba, namun ada juga jenis lain berupa Rhizopora apiculata, dengan tingkat kerapatan 7,5 persen sangat jarang, 7,0 persen jarang, dan 85,5 persen lebat.

Tanjungpunai tidak hanya kaya karbon biru, namun juga memiliki potensi alam yang luar biasa, selain memiliki keanekaragaman geologi (geo-diversity), flora dan fauna (bio-diversity) serta adat istiadat lokal (cultural-diversity).

Sejak awal 2019, aktivis perempuan yang tinggal di Tanjungpunai Mentok, Ardianeka, sangat sadar pentingnya menjaga karbon biru yang ada di sekitar tempat tinggalnya, kesadaran itu yang menjadi semangat pendorong untuk membentuk kelompok masyarakat sadar lingkungan.

Dengan perjuangan tak kenal lelah, akhirnya Ardianeka berhasil menginisiasi pembentukan tiga kelompok masyarakat di pesisir tersebut, yaitu Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Tanjungpunai, Kelompok Tani Hutan Tanjungpunai, dan Kelompok UMKM Belangkas Berseri.

Mereka melakukan kerja sama pengelolaan wilayah pesisir termasuk hutan mangrove yang berada di sekitar hutan produksi dan hutan lindung Tanjungpunai dengan menerapkan konsep geopark dengan menghadirkan Mangrove Tanjungpunai sebagai Green Blue Integrated Zone (GBI Zone).

Geopark merupakan salah satu konsep perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menggabungkan unsur geo-diversity, bio-diversity dan cultural-diversity, yang ada di suatu wilayah dalam rangka melindungi dan meningkatkan fungsi warisan alam.

Suatu kawasan dapat diusulkan menjadi kawasan geopark dimulai dengan proses dari bawah ke atas yang melibatkan semua masyarakat dan pemangku kepentingan dengan menyelaraskan tiga jenis keragaman tersebut.

Konsep ini dilakukan dalam rangka menunjang pembangunan yang berkelanjutan dengan menekankan kegiatan konservasi, pendidikan, dan pertumbuhan perekonomian lokal.

Adapun GBI Zone merupakan konsep perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam yang ada di suatu wilayah dalam rangka melindungi lingkungan sekitar untuk peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan yang terdiri dari daerah pesisir, mangrove dan kawasan hutan.

Pengelolaan dan pengembangan daerah pesisir dan mangrove Tanjungpunai menjadi fokus kegiatan untuk dijadikan zona terintegrasi, kegiatan ini merupakan komitmen bersama untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar dengan potensi alam yang dimiliki.

Di dalam mangrove juga banyak dijumpai berbagai jenis ikan, seperti sembilang, belanak, jumpoul, teri, tamban, kepetek, pari, selanget juga udang, dan kepiting bakau.

"Selain memanfaatkan kekayaan alam yang sudah ada, saat ini di wilayah laut juga sudah ada tambak udang sekitar 150 hektare. Sedangkan di area darat sebagian dimanfaatkan untuk penanaman jambu mete yang bekerja sama dengan BPDAS Bangka Belitung seluas 10 hektare," kata Ardianeka.

Melalui tiga kelompok masyarakat yang telah dibentuk tersebut, keberadaan hutan mangrove semakin terjaga kelestariannya dan kandungan yang ada di dalamnya bisa termanfaatkan dengan baik dan bijaksana untuk meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok dan warga sekitar.

Pendekatan budaya

Bagi warga yang berada di ujung timur Kecamatan Mentok tersebut, adat budaya lokal masih tetap terjaga kelestariannya karena memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang pantas untuk diturunkan kepada generasi selanjutnya.

Salah satu tradisi turun temurun adalah Pesta Adat Ruah yang diselenggarakan setiap tahun menyambut Bulan Suci Ramadhan, tradisi ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Tanjungpunai.

"Kegiatan tradisi ini menjadi pintu awal kita dalam mengenalkan potensi yang ada di desa, salah satunya kita masukkan pengenalan konsep geopark lokal," kata Ardianeka.

Dengan adanya pola pendekatan seperti itu diharapkan menjadi pengetahuan baru dan menambah wawasan bagi warga setempat, terutama generasi muda agar mau bergotong royong mengembangkan potensi yang ada di Tanjungpunai.

Setelah terbentuk tiga kelompok masyarakat di Dusun Tanjungpunai, ke depan direncanakan di kampung tersebut bisa dibangun sebuah lembaga konservasi untuk menjaga kelestarian lingkungan, pengembangbiakan dan penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.

Selain itu, keberadaan lembaga tersebut juga dapat difungsikan sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.

"Kami bermimpi bisa memiliki lembaga konservasi, misalnya, dalam bentuk kebun binatang, museum zoologi, taman satwa khusus, pusat latihan satwa khusus, kebun botani, herbarium, dan taman tumbuhan khusus, atau dalam bentuk lembaga lainnya," katanya.

Dengan kelembagaan yang ada, diyakini masyarakat akan semakin termotivasi dalam pelestarian lingkungan karena akan menambah kesejahteraan hidup. Dalam pelestarian itu masyarakat bisa memanfaatkan keberadaan kawasan mangrove secara maksimal dan bertanggung jawab.

Bagi pokdarwis, kawasan Mangrove Tanjungpunai bisa dimanfaatkan sebagai destinasi wisata yang menggembirakan dan menghasilkan bukan hanya bagi anggota pokdarwis, namun juga untuk warga sekitar.

Pesisir Tanjungpunai juga bisa untuk kegiatan budi daya kerang darah dengan luas total lahan yang bisa dimanfaatkan mencapai 205 hektare.

Para ibu rumah tangga yang tergabung dalam UMKM Belangkas Berseri secara bertahap juga telah diberikan keterampilan dengan mengolah hasil laut berupa ikan teri, kerang, siput berung dan lainnya menjadi makanan olahan dan makanan beku.

Adapun KTH Tanjungpunai saat ini melakukan pengolahan jambu mete untuk dijadikan makanan olahan dan dijual dalam bentuk kemasan diproses menggunakan alat modern.

Berbagai keterampilan dengan sentuhan peralatan modern yang telah dijalankan selama ini diharapkan ke depan kesejahteraan warga di pesisir Tanujungpunai semakin maju, sejahtera dan bermartabat.