Bung Karno Hadiri Peringatan Hari Lahir Nahdlatul Ulama di GBK dalam Sejarah Hari Ini, 31 Januari 1966

JAKARTA – Sejarah hari ini, 57 tahun yang lalu, 31 Januari 1966, Presiden Soekarno menghadiri peringatan Hari Lahir (Harlah) Nahdlatul Ulama (NU) ke-40. Ia pun berpidato di tengah ratusan ribu simpatisan NU di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK).

Putra Sang Fajar mengungkap kecintaan kepada NU tak pernah padam. Semuanya karena ulama NU jadi salah satu mentor Bung Karno sedari dulu. Bung Karno banyak membantu NU. Begitu pula sebaliknya. Hubungan hangat itu terus dijaga. Sekalipun sempat terganggu isu Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Hubungan Soekarno dengan organisasi Islam di Nusantara terjalin dengan baik. Alih-alih hanya dekat dengan Muhammadiyah, Bung Karno juga menjalin hubungan baik dengan NU. Bahkan, Soekarno menganggap andil NU cukup besar dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Ia kerap meminta petunjuk ke ulama-ulama NU ketika situasi genting. Pun petinggi NU, Wahid Hasyim (anak pendiri NU, Hasyim Asy’ari sekaligus ayah Gus Dur) pernah bersama-sama Soekarno menggagas lahirnya Pancasila.

Hubungan itu berjalan dengan harmonis hingga membentu simbiosis mutualisme di antara keduanya. Namun, hadirnya G30S mengubah banyak hal. Banyak di antara angkatan muda NU geram dengan eksistensi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Presiden Soekarno didampingi Menteri Agama, Wahid Hasyim (Tokoh NU yang juga ayah Gus Dur) --jas putih-- sedang berbincang dengan peserta Resepsi Alim Ulama dari Seluruh Indonesia pada 1951. (ANRI)

Mereka mengganggap partai yang kerap didukung Bung Karno itu dalam dari G30S. Angkatan muda NU pun banyak terlibat dalam upaya pembersihan simpatisan PKI. Aksi mereka seraya sebuah protes karena Bung Karno lama mengambil tindakan terhadap tuntutan rakyat: bubarkan PKI.

Faktanya, NU tak sepenuhnya membenci Bung Karno. Sederet petinggi NU tampak mendukung penuh langkah Bung Karno. Idham Chalid, misalnya.  

“Di pihak Soekarno, ia mempunyai keinginan keras untuk memperluas pengaruhnya lebih dari yang telah ditetapkan dalam konstitusi 1950, dan ia menganggap NU layak dijadikan pendukung keterlibatannya yang lebih luas dalam politik. Setelah Masyumi mengecewakan Soekarno maka hanya NU kekuatan riil dan representatif kelompok agama bagi konsep persatuan Nasakom yang dibangun oleh Soekarno.”

“Soekarno akan menerima dengan senang hati pembelaan partai Islam itu terhadap kabinet presidensialnya dan pemerintahannya yang kuat. Sampai Gerakan 30 September yang menghebohkan itu, ketika posisi Soekarno dipertanyakan dalam kejadian itu, Idham masih setia kepada Soekarno dan ia harus berhadapan dengan kaum muda NU militan yang membenci sikap akomodatifnya,” ungkap Ahmad Muhajir dalam buku Idham Chalid: Guru Politik Orang NU (2007).

Soekarno pun membungkam suara sumbang yang mengkritik keretakan hubungannya dengan NU. Ia menepis anggapan itu dengan hadir sebagai tamu kehormatan pada Harlah NU ke-40 pada 31 Januari 1966. Soekarno senang bukan main mendatangi Harlah NU.

Warga Nahdlatul Ulama memadati tribun dan lapangan Stadion Utama Senayan saat perayaan Harlah NU ke-40 pada 31 Januari 1966. (nu.or.id)

Kebahagiaan itu karena Harlah itu diselenggarakan di kompleks olahraga yang dibangunnya, GBK. Ia pun turut berpidato di tengah ratusan ribu massa yang datang. Bung Karno pun menunjukkan kecintaannya yang amat dalam kepada NU.

“Apa yang engkau lihat hei saudara-saudara, anak-anakku? Bukan saja Presiden menghadiri Harlah NU, tetapi pun Presiden menyatakan, mengucapkan syukur alhamdulillah, bahwa ia bisa menghadiri Harlah NU! Memang saya tidak tedeng aling-aling, saya cinta kepada NU.”

“Kan sudah ucapkan –berkali-kali-- hei NU. Saya cinta kepadamu, cintailah kepadaku! Hei NU, saya rangkul kepadamu, rangkullah aku ini, sebagai tadi dikatakan oleh Pak Idham Chalid,” terang Soekarno dalam pidatonya di Harlah NU ke-40 sebagaimana dikutip Budi Setiono dan Bonnie Triyana dalam buku Revolusi Belum Selesai (2014).