Pembinaan Sepak Bola Usia Dini: Dianggap Fondasi tapi Selalu Diabaikan oleh PSSI
JAKARTA – Liga yang kuat akan menghasilkan tim nasional yang kuat. Teori ini sudah acapkali diucapkan oleh para tokoh dan pengamat sepak bola. Namun, selama PSSI berdiri pada 1930, atau paling tidak sejak PSSI terdaftar sebagai anggota FIFA pada 1952, implementasinya tak pernah terwujud.
Manajemen liga sepak bola Indonesia, menurut pengamat sepak bola nasional Kesit Budi Handoyo, masih semrawut. Berjalan tanpa fondasi yang kokoh. Hampir tidak pernah memprioritaskan pembinaan usia dini, meskipun ada, itu baru sekadar slogan tanpa disertai dengan mekanisme yang jelas.
Sehingga wajar kalau hasil yang diperoleh tidak optimal. Menurut Kesit kepada VOI, Minggu (15/1), “Pembinaan sepak bola usia dini bukan cuma sekadar memberikan kesempatan untuk membangun SSB (Sekolah Sepak Bola), tapi syarat dan prasyaratnya juga harus jelas, termasuk syarat pendirian, perekrutan pelatih, dan lainnya.”
Memang, sejak 1999, ketika era Agum Gumelar dan Pembina Usia Muda PSSI dijabat oleh Ronny Patinasarani, keberadaan SSB mulai menjamur. Sayangnya, ini tidak dikelola dengan baik.
Belum ada pengurus PSSI yang memiliki kompetensi mengurus pembinaan sepak bola usia dini. Alhasil, meski bertambah secara kuantitas, tetapi SSB belum maksimal secara kualitas.
Kurikulum Filosofi Sepak Bola Indonesia (Filanesia) yang dituangkan dalam buku Kurikulum Pembinaan Sepak bola Indonesia, menurut pengamat sepak bola nasional Supartono JW, juga belum laik menjadi panduan.
“Bagaimana pengukuran keberhasilan siswa di SSB, apa standar pengukurannya, bagaimana tesnya, bagaimana nilai rapornya, dan lain-lain. Pertanyaan ini sulit dijawab karena tidak ada ukuran yang jelas,” katanya kepada VOI, Senin (16/1).
Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong saja masih mengeluhkan permasalahan passing. Lebih lengkapnya seperti diutarakan Nova Arianto, asisten Shin Tae-yong. Nova sempat memberikan beberapa catatan yang perlu ditingkatkan dalam pembinaan usia dini, yakni komunikasi, movement, scanning, kualitas passing, kualitas kontrol, passing move, dan mental.
“Ini yang kami merasa kurang di tim nasional saat ini dari U-19 sampai senior. Untuk memperbaiki ini kita harus memulainya dari sepak bola usia dini karena sebelum mereka belajar taktik, ada baiknya mereka dibekali teknik dan skill individu yang baik,” tulis Nova di akun instagramnya pada Juli 2022.
Kesalahan Mendidik
Artinya, kata Supartono, ada kesalahan dalam meletakkan fondasi awal pendidikan sepak bola usia dini. Rata-rata pelatih hanya berbekal lisensi D, yang pendidikan hanya ditempuh satu pekan atau total minimal 30 jam pembelajaran. Di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) saja, guru minimal wajib berijazah sarjana atau minimal diploma 4 karena memang anak usia dini memiliki karakteristik berbeda dengan anak usia menginjak remaja.
“Maka yang terjadi adalah para pelatih hanya mengajarkan, tetapi tidak mendidik,” ucap pendiri SSB Sukmajaya, Depok ini.
Padahal, pendidikan sepak bola untuk usia dini bukan sekadar pengenalan teknik dan fisik, juga terkait dengan pengembangan intelegensi dan kepribadian. Itu sebabnya, bila ingin mencetak pemain cerdas, butuh pelatih yang juga memiliki kecerdasan dalam mengajar dan mendidik.
Misal dari materi passing. Selain mengajarkan cara passing sesuai teknik yang benar, pelatih juga bisa menyelipkan pendidikan karakter. Passing yang benar itu tidak membahayakan diri sendiri, tidak merepotkan teman yang menerima, tidak terpotong oleh lawan, tidak mempengaruhi tempo permainan, dan tidak individualis dan egois.
Mementingkan kepentingan kolektivitas dan tujuan, taktik, intrik, dan politik tim. Menurut Supartono, “Meski hanya sekadar passing, banyak aspek dan indikator yang mempengaruhi hingga akhirnya passing disebut benar dan berkualitas. Sehingga, bekerja juga intelegensi dan kepribadian anak.”
Tengok pola pembinaan sepak bola usia dini di International Football Academy Soccer Inter Action (SIA). Pada usia anak 5-6 tahun, pelatihan hanya sebatas bermain dengan mengombinasikan sesi shooting, ball handling, dan passing. Kegiatan dilakukan dengan cara sederhana dan mudah dimengerti. Anak-anak pada usia ini masih senang bermain. Sehingga, sebisa mungkin mereka harus senang menikmati permainan bersama dengan rekan setimnya.
Pelatihan kebugaran fisik baru dilakukan setelah anak berusia belasan tahun. SIA melakukan beberapa sesi latihan dengan sprint untuk meningkatkan kecepatan. Atau permainan yang mengutamakan refleks. Barulah, ketika beranjak remaja atau memasuki masa pubertas, akademi sepak bola yang bermarkas di Valencia, Spanyol ini mulai fokus melatih kualitas fisik. Daya tahan tubuh, kekuatan, kecepatan, dan fleksibilitas.
Ada empat poin mendasar. Yang pertama adalah koordinasi. Ini adalah kemampuan melakukan beberapa gerakan secara berurutan dan efisien. Kedua keseimbangan, berarti kestabilan tindakan tubuh. Ketiga, kelincahan, kemampuan melakukan latihan dengan cepat dan terakhir. Terakhir, ritme, kemampuan melakukan gerakan yang teratur dan terus menerus sesuai dengan pola yang ditetapkan.
Seperti yang tertulis di laman resmi SIA, “Anak bisa menyukai atau membenci sepak bola tergantung bagaimana mereka berlatih. Sehingga, pelatih harus menjaga mood. Masa depan anak laki-laki atau perempuan dalam sepak bola tergantung pada seberapa baik kualitas mereka bekerja."
Itulah mengapa, mengingat peran SSB sebagai wadah pembinaan usia dini sangat vital sebagai pondasi awal bagi sepak bola Indonesia. Supartono menyarankan PSSI harus memperbaharui kurikulum sepak bola nasional sesuai syarat dan kaidah proses lahirnya kurikulum.
“Semoga ini segera menjadi pemikiran. Sepak bola akar rumput adalah pondasi sepak bola Indonesia tetapi terus menjadi anak tiri. Diabaikan oleh PSSI. Tidak ada kompetisi resmi PSSI atas nama SSB. Ada Piala Soeratin dan Elite Pro Academy, atas nama klub. Pemainnya tinggal nyomot dari SSB dan kompetisi swasta,” Supartono mengungkapkan.
Butuh Nyali
Menteri BUMN Erick Thohir, usai menyerahkan dokumen pendaftaran resmi sebagai calon Ketua Umum PSSI pada 15 Januari lalu, menyatakan akan melakukan perubahan besar di tubuh PSSI bila terpilih. Dia memahami ada sejumlah permasalahan mendasar dalam sepak bola Indonesia hingga saat ini, antara lain pembinaan usia dini yang tidak berjalan baik
“Sudah banyak teori dan konsep dalam perbaikan sepak bola Indonesia. Sebenarnya yang harus kita lakukan adalah kita bernyali. Bernyali untuk sepak bola yang bersih dan juga sepak bola yang berprestasi. Ini yang terpenting,” kata Erick.
“Kita harus pastikan ke depan jangan ada tangan-tangan kotor di sepak bola Indonesia,” tambahnya.
Namun, kata Supartono, sejak terdaftar sebagai anggota FIFA, PSSI adalah ‘milik’ voter. Pemerintah saja tidak bisa mengintervensi.
“Bila Erick menyebut punya nyali dan berani membersihkan tangan-tangan kotor di PSSI yang tradisinya sudah mengakar di PSSI, apakah Erick mampu menjinakkan para voter PSSI?” katanya.
“Bagaimanapun hasilnya nanti, yang pasti perbaikan kompetisi hingga pembinaan usia dini harus menjadi prioritas kalau kita tidak ingin tertinggal,” Supartono menandaskan.
Baca juga:
- Selama Ketua Umum dan Pengurus PSSI Punya Agenda Tersembunyi, Sepak Bola Indonesia Sulit Berprestasi
- Ketika Konservasi Penyu Berbenturan dengan Industri Pariwisata dan Ritual Religi di Bali
- Mulai Gangnam Style hingga Butter: Menguak Musik Korea Selatan, K-Pop yang Kian Ngetop
- Sistem Jalan Berbayar Elektronik Bisa Efektif Urai Kemacetan Jakarta, Asal…