Indonesia Cuti Melahirkan 'Cuma' 6 Bulan, Korsel Malah Mau Perpanjang Jadi 18 Bulan

JAKARTA - Perempuan Indonesia tersenyum ketika mereka bisa mendapatkan cuti enam bulan saat melahirkan. Tapi di Korea Selatan, ada wacana memperpajang cuti melahirkan hingga jadi 18 bulan.

Sebelumnya Korea Selatan sudah memiliki aturan masa cuti melahirkan bagi orang tua yang bekerja sebanyak satu tahun alias 12 bulan. Namun saat ini sedang digodok menjadi satu tahun enam bulan, kata kementerian tenaga kerja, Senin 9 Januari.

Kementerian Ketenagakerjaan juga mengatakan pihaknya berencana untuk meningkatkan kuota pekerja asing dengan visa kerja non-profesional tahun ini untuk mengurangi kekurangan tenaga kerja akibat pandemi.

Rencana tersebut dimasukkan dalam laporan Menteri Tenaga Kerja Lee Jeong-sik kepada Presiden Yoon Suk Yeol tentang rencana kerja kementeriannya untuk tahun ini seperti dikutip dari Yonhap News.

Pertama, pemerintah mendorong untuk menjamin cuti melahirkan hingga 18 bulan untuk setiap orang tua ketika keduanya bekerja.

Rencana tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mendorong lebih banyak pasangan mencari cuti hamil atau paternitas untuk mengatasi angka kelahiran yang sangat rendah di negara itu, kata para pejabat.

Juga, kementerian tenaga kerja telah memutuskan untuk mengeluarkan visa E-9 ke rekor tertinggi tahunan 110.000 pekerja asing tahun ini.

Keputusan itu dibuat karena industri yang sangat bergantung pada tenaga kerja imigran mengalami kekurangan tenaga kerja di tengah pandemi COVID-19 yang berkepanjangan dan kontrol perbatasan yang meningkat.

Pemerintah juga berencana untuk merevisi undang-undang yang relevan agar tenaga kerja asing dapat tinggal lebih dari 10 tahun tanpa melalui proses keberangkatan dan masuk kembali untuk menjamin keterampilan mereka.

Kementerian Tenaga Kerja juga akan mendorong kebijakan untuk mengurangi kematian atau cedera yang disebabkan di tempat kerja dengan memaksa perusahaan mengadopsi sistem penilaian risiko.

Mulai tahun ini, pemerintah berencana untuk memaksa perusahaan dengan 300 karyawan atau lebih untuk mengadopsi sistem tersebut dan mengembangkannya lebih lanjut ke perusahaan kecil dengan lima karyawan atau lebih pada tahun 2025.

Pemerintah akan mengkaji apakah sistem seperti itu dijalankan dengan benar jika terjadi kematian atau cedera di tempat kerja, kata para pejabat.

Juga, kementerian tenaga kerja berencana untuk meluncurkan sebuah komite pada akhir bulan ini untuk membahas langkah-langkah untuk mengatur ulang sistem pengupahan yang berpusat pada kinerja.

Komite tersebut akan terdiri dari manajer personalia, pekerja, pakar hukum perburuhan atau hubungan manajemen perburuhan, dan pejabat pemerintah.