Ramai-ramai Tolak Sistem Proporsional Tertutup

Delapan partai parlemen mengeluarkan pernyataan menolak sistem proporsional tertutup. Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP mengeluarkan lima butir pernyataan sikap yang dibacakan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Wacana menggunakan sistem proporsional tertutup mengemuka setelah 6 orang mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Enam orang tersebut adalah Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto dan Nono Marijono. Demas Brian Wicaksono merupakan kader PDIP, sementara Yuwono sempat menjadi kader partai NasDem.

Mereka mengajukan uji materi terhadap Pasal 168 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi (MK). Undang-Undang tersebut mengatur tentang pemilu legislatif yang berlangsung terbuka. Artinya para pemilih dapat memilih langsung wakil mereka sebagai anggota legislatif.

Para pemohon yang didampingi Sururudin dan Maftukhan selaku kuasa hukum meminta agar Pemilu 2024 diberlakukan sistem pemilu proporsional tertutup. Dalam sistem ini para pemilih menggunakan hak suara untuk memilih partainya saja. Jika jumlah suara tersebut memenuhi ambang batas maka pihak partai yang menentukan anggota legislatif yang sudah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menjadi ramai lantaran Ketua KPU Hasyim Asy'ari saat acara Catatan Akhir Tahun KPU di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 29 Desember 2022 bicara soal kemungkinan sistem Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 akan kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Dia mengatakan sistem tersebut sedang dibahas melalui sidang MK.

Dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI hanya Fraksi PDIP yang mendukung sistem proporsional tertutup. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, alasan partainya mendukung wacana sistem pemilu dengan proporsional tertutup karena sistem proporsional terbuka yang telah berjalan sejak Pemilu 2009 hingga 2019 cenderung meloloskan calon-calon anggota legislatif yang mampu menggelontorkan modal besar dalam berkampanye hingga ratusan miliar rupiah.

Bahkan menurut Hasto seperti dimuat di VOI, untuk menjadi anggota dewan saja harus mengeluarkan biaya Rp5 miliar hingga Rp100 miliar.

Di Indonesia sendiri dua sistem tersebut pernah digunakan. Sistem proporsional tertutup diterapkan di era orde baru hingga era reformasi pada pemilu tahun 1999. Sementara sistem proporsional terbuka dilaksanakan pada pemilu tahun 2004 hingga pemilu tahun 2019.

Memang sistem proporsional terbuka punya kekurangan tapi itulah risiko yang harus diambil demi terwujudnya demokrasi. Tentu ketika dulu memutuskan menggunakan sistem terbuka sudah dengan pertimbangan matang. Bahwa sistem proporsional terbuka menjadi yang paling tepat. Bahwa masyarakat cukup cerdas untuk memilih sendiri calon yang dianggap terbaik dengan melihat jejak rekamnya.

Sementara dalam sistem proporsional tertutup rakyat seperti "membeli kucing dalam karung". Tidak kenal calon yang akan mewakilinya. Dan juga harus diingat jika sistem proporsional tertutup diterapkan maka dominasi partai politik seolah melampaui kedaulatan rakyat saat partai atau ketua umum menentukan wakilnya di parlemen atau lembaga legislatif. Sesuatu yang tentu tidak diinginkan. (*)