Ketika Pemimpin Agung Iran Menjadi Olok-Olok Charlie Hebdo karena Penindasan Hak Perempuan
JAKARTA – Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amirabdollahian bereaksi keras pasca penerbitan beberapa gambar karikatur Pemimpin Agung, Iran Ayatullah Sayyid Ali Khamenei oleh majalah mingguan Prancis Charlie Hebdo pada 4 Januari 2023. Dia menganggap itu sebagai penghinaan. Melawan otoritas agama dan politik yang berlaku di Iran.
Pemerintah Prancis, kata Amirabdollahian, harus mengambil tindakan efektif dan tegas agar kejadian itu tidak terus terulang.
“Kami tidak akan membiarkan pemerintah Prancis melampaui batasnya. Mereka pasti telah memilih jalan yang salah,” katanya seperti dilansir dari The National News pada 5 Januari.
Pada 8 Desember 2022, Charlie Hebdo meluncurkan kontes pembuatan karikatur Pemimpin Agung Iran Ayatullah Sayyid Ali Khamenei. Ini sebagai bentuk dukungan kepada pria dan wanita Iran yang mempertaruhkan hidup mereka mempertahankan kebebasan melawan teokrasi yang telah menindas mereka sejak 1979.
Juga, sebagai pengingat alasan pembunuhan sejumlah kartunis Charlie Hebdo pada 2015. Mereka yang menolak tunduk terhadap perintah agama mengambil risiko membayar dengan nyawanya.
“Apa yang akan dipikirkan Charb, Cabu, Bernard Maris, Wolinski, Tignous, Mustapha Ourrad, Honoré, dan Elsa Cayat hari ini melihat apa yang terjadi di Iran? Tidak ada yang bisa mengatakan, tapi kita bisa menebak. Delapan tahun kemudian, intoleransi beragama belum mengucapkan kata terakhirnya. Ini melanjutkan pekerjaannya menentang protes internasional dan menghormati hak asasi manusia yang paling mendasar,” tulis Charlie Hebdo.
Charb, Cabu, Bernard Maris, Wolinski, Tignous, Mustapha Ourrad, Honoré, dan Elsa Cayat adalah para kartunis Charlie Hebdo yang tewas ketika pria sejumlah pria bersenjata menyerang kantor mereka pada 7 Januari 2015.
Sebelum terjadi penyerangan, Tempo menulis, Charlie Hebdo baru saja mencuit tentang kartun pemimpin kelompok militan Negara Islam (IS/ISIS), Abu Bakr al-Baghdadi. Pada November 2011, kantor majalah ini juga pernah dilempari bom sehari setelah menyajikan karikatur Nabi Muhammad.
Kontes tersebut berhasil mengumpulkan lebih dari 300 gambar. Kemudian, tulis Charlie Hebdo, “Kami memilih yang paling sukses, paling orisinal, dan paling efektif.”
Bila melihat laman charliehebdo.fr, hanya 34 gambar karikatur terpilih yang diterbitkan. Antara lain, karikatur karya Inconnu. Menggambarkan wanita berambut panjang terurai di bahu yang tengah menggantung leher seorang pria menggunakan sebagian rambutnya. Pria diilustrasikan mengenakan serban di kepala dan kacamata, serupa dengan penampilan Ali Khamenei.
Lalu, karikatur karya LP (Italie) yang menggambarkan wanita tengah buang air kecil sambil berdiri. Mengencingi seorang pria yang diilustrasikan sebagai Ali Khamenei yang bersimpuh di sela kakinya sambil mengangkat tangan menahan pancuran air seni.
Pengaruhi Opini Publik
Kartun atau karikatur yang menampilkan gambar-gambar satir, menurut Alip Yog Kunandar dalam buku ‘Memahami Propaganda: Metode, Praktik, dan Analisis’ merupakan bentuk propaganda. Ini sudah dilakukan sejak abad ke-17.
Pelopornya adalah William Hogarth asal Inggris. Pada 1751, dia membuat dua gambar berjudul ‘Beer Street’ dan ‘Gin Lane’ sebagai protes terhadap maraknya penggunaan gin yang menyebabkan banyaknya kriminalitas di Inggris. Gin adalah jenis minuman hasil penyulingan buah juniper yang mengandung kadar alkohol tinggi dan pada mulanya diimpor dari Belanda.
Lewat gambar, si pembuat (propagandis) ingin mengarahkan perspektif masyarakat dalam mengatur, melihat, dan berkomunikasi tentang realitas. Tidak saja mengomunikasikan fakta-fakta kepada publik, tetapi juga fakta-fakta yang mempengaruhi opini publik terhadap suatu isu tertentu.
“Setelah opini publik terbentuk, akan mudah memobilisasi gerakan yang sesuai dengan pendapat yang diarahkan,” tulis Alip.
Selain itu, lewat gambar, propagandis juga memanipulasi emosi target khalayak dari perasaan suka ke perasaan tidak suka, dari perasaan cinta ke perasaan benci, dari perasaan sayang ke perasaan marah atau sebaliknya. Positif atau negatif pesan yang muncul tergantung dari jenis khalayak di mana informasi tersebut disajikan.
Seperti dalam kasus terakhir Charlie Hebdo pada 2015 yang menewaskan 12 orang, dua di antaranya adalah Stephane ‘Charb’ Charbonnier, kartunis kontroversial yang pernah membuat kartun Nabi Muhammad dan Franck Brinsolaro, polisi yang mengawal Charb.
Pelaku kemudian dikaitkan dengan gerakan ISIS. Seperti halnya aksi kekerasan lainnya sejak peristiwa 9/11, setiap kali ada peristiwa kekerasan yang melibatkan muslim sebagai pelaku atau diduga pelaku akan langsung merebak ketakutan akan Islam atau biasa disebut dengan Islamofobia. Begitu pun yang terjadi setelah kasus Charlie Hebdo.
Menurut Alip, ada tiga arah propaganda yang bekerja. Pertama propaganda yang pesannya berdasarkan keagamaan, bahwa wajar jika pelaku pelecehan Nabi Muhammad itu mendapat ganjaran setimpal karena sudah jelas-jelas melecehkan agama, apalagi dalam Islam visualisasi Nabi Muhammad adalah sesuatu yang sangat dilarang apalagi dibuat kartun dan bahan olok-olok.
Pesan propaganda kedua yang bereedar, jangan membawa-bawa agama dalam melakukan tindakan kekerasan.
Pesan propaganda ketiga adalah pesan untuk mendukung kebebasan berekspresi dengan cara menentang aksi kekerasan terhadap jurnalis.
“Gerakan propaganda yang ketiga ini meskipun seolah spontan terlihat lebih rapi, sehari setelah kejadian, mendadak saja di dunia maya merebak tagar ‘Je Suis Charlie’, yang artinya Saya Charlie,” ucap Alip.
Bila merujuk model analisis komprehensif Jowett & Donnell, menurut Alip, kesuksesan kampanye propaganda cenderung berasal dari otoritas pengambil keputusan yang kuat dan sentralistik dalam menghasilkan pesan yang konsisten melalui strukturnya. Untuk alasan ini, kepemimpinan akan menjadi kuat dan tersentral dengan adanya hierarki yang dibangun di dalam organisasi.
Dalam propaganda, pemimpin yang tampil belumlah tentu sebagai pemimpin yang sesungguhnya, tapi pemimpin yang tampil adalah pengemban tugas ideologi dari pemimpin yang sesungguhnya.
“Kita bisa menganalisa bagaimana si pemimpin mendapatkan posisinya dan mencoba untuk menentukan bagaimana si pemimpin menginspirasi loyalitas dan dukungan. Si pemimpin akan memiliki gaya tertentu yang memungkinkan dia untuk menarik, mempertahankan, dan membentuk anggota ke dalam unit-unit organisasi. Gaya kepemimpinan dapat mencakup unsur-unsur yang berhubungan dengan ideologi, kharisma personal, dan juga identifkasi dengan khalayak,” Alip menandaskan.
Baca juga:
- Paus Benediktus XVI dan Sikapnya terhadap Kasus Pelecehan Seksual, Homoseksual, serta Legalisasi Aborsi di Irlandia
- Soal Banjir, Jakarta dan Semarang Punya Cerita Serupa
- Kasus Malika: Tak Mudah Menghilangkan Trauma Korban Penculikan Anak
- Belajar dari Kasus Penculikan Malika: Orangtua Harus Memahami Fase Perkembangan Anak