Tuding AS dan Barat Picu Protes Anti-Pemerintah, Presiden Iran Raisi: Musuh Tidak akan Mencapai Tujuannya
JAKARTA - Presiden Iran Ebrahim Raisi menuduh Amerika Serikat dan negara-negara Barat memicu protes anti-pemerintah di Iran, dengan menyebarkan desas-desus dan informasi yang salah, saluran TV Al-Alam melaporkan pada Hari Rabu.
"Musuh revolusi tidak akan mencapai tujuan mereka untuk menimbulkan perselisihan di antara rakyat Iran dengan menyebarkan kebohongan," katanya di Teheran dalam pertemuan dengan veteran perang Iran-Irak 1980-1988, dilansir dari TASS 29 Desember.
"Orang-orang muda adalah anak-anak kita dan semua orang yang disesatkan akan disambut oleh tanah air mereka, tetapi tidak ada belas kasihan bagi para pengkhianat," tambahnya.
Menurut Presiden Iran, "orang munafik, monarki dan kontrarevolusioner, yaitu, semua yang menentang pemerintah Teheran" terlibat dalam mengatur gangguan dan kerusuhan yang meletus di Iran pada pertengahan September.
Pada Hari Senin, kantor kejaksaan Iran melaporkan sekitar 83 persen pengunjuk rasa yang ditahan sebelumnya oleh polisi dan dinas keamanan, telah dibebaskan oleh pihak berwenang.
Sebuah pernyataan yang dikutip oleh kantor berita Tasnim mencatat, "selama tiga bulan terakhir, hakim yang mengawasi kasus para pengunjuk rasa mengunjungi penjara sebanyak 2.239 kali dan melakukan percakapan pribadi dengan para tahanan."
Pada Bulan Oktober dan November, otoritas Iran berulang kali memberikan grasi kepada para demonstran yang mengambil bagian dalam demonstrasi di Sanandaj, pusat administrasi Kurdistan, dan Zahedan, ibu kota Provinsi Sistan dan Baluchestan.
Sekelompok pengunjuk rasa juga dibebaskan di provinsi barat daya Khuzestan, yang dihuni oleh suku-suku Arab, dan di Ardabil tempat tinggal etnis Azerbaijan.
Pada 26 Desember, Amerika Serikat mendesak Iran untuk membebaskan semua pengunjuk rasa tanpa syarat. Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price menekankan, ini adalah tentang "semua orang yang dipenjara di Iran karena menjalankan kebebasan mereka secara damai."
Iran dilanda protes sejak kematian Mahsa Amini yang berusia 22 tahun pada 16 September. Menurut versi resmi, gadis Kurdi ini ditahan polisi karena tidak mengenakan jilbabnya dengan benar. Selama interogasi berikutnya, dia menderita serangan jantung dan meninggal. Namun, media sosial menyebarkan berita bahwa Amini telah dipukuli oleh polisi.
Baca juga:
- Ada Gelombang Infeksi, Amerika Serikat Berlakukan Syarat Tes COVID-19 untuk Pelancong dari China
- Kecam Keputusan Taipei Perpanjang Wajib Militer, China: Kami Percaya Warga Taiwan Sangat Berprinsip
- Rusia Serang Kota Kherson dengan Puluhan Rudal, Hantam Permukiman dan Infrastruktur Sipil
- Kremlin Tegaskan Tidak Ada Rencana Perdamaian Konflik Ukraina Tanpa Mengakui Empat Wilayah Baru Rusia
Pada tanggal 7 Oktober, Otoritas Kedokteran Forensik Iran menerbitkan laporan resmi tentang penyebab kematiannya, yang mencatat dia tidak mengalami trauma apapun.
Terpisah, surat kabar Asharq Al-Awsat melaporkan, selama tiga bulan aksi unjuk rasa dan protestelah meluas hingga mencakup 157 kota dan permukiman penduduk, dengan para pengunjuk rasa menuntut perubahan demokrasi, mengutuk represi negara dan menyerukan pembebasan mereka yang ditangkap.
Menurut outlet berita, secara keseluruhan, 18.500 orang telah ditahan di Iran sejak pertengahan September. Sementara, sekitar 507 aktivis dan 66 anggota pasukan keamanan tewas dalam kerusuhan tersebut.