Peringatan 18 Tahun Gempa dan Tsunami Aceh, Pakar Nilai Pengetahuan Mitigasi Bencana Warga Masih Minim

BANDA ACEH - Pakar kebencanaan dari Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Dr Alvinsyahrin menilai, pengetahuan mitigasi bencana masyarakat di daerah Tanah Rencong itu masih minim, sehingga perlu upaya edukasi secara berkelanjutan dalam menghadapi setiap bencana.

Alvin menyebut peringatan 18 tahun gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2022 mendatang harus menjadi momentum untuk merefleksikan diri agar terus meningkatkan pengetahuan mitigasi bencana.

“Harapan masyarakat global membangun Aceh ialah supaya Aceh tangguh, bisa menghadapi bencana, secara lebih proaktif, bisa mengenali resiko bencana, baik nyawa atau harta bencana,” kata Alvin di Kota Banda Aceh, Antara, Jumat, 23 Desember. 

Ia menjelaskan tsunami Aceh pada 2004 silam sangat menghentakkan dunia. Saat itu, Aceh menjadi titik perhatian dunia, hingga kemudian menjadi dasar PBB mengevaluasi kerangka aksi penanggulangan bencana global dari strategi Yokohama menjadi kerangka Hyogo yang lahir pada Januari 2005 lalu.

Artinya, menurut Alvin, Aceh menginspirasi dunia dalam skala kebencanaan. Dampak bencana yang menyebabkan ratusan ribu warga meninggal dunia itu mengantarkan lebih 112 negara dan ratusan Organisasi Non-Pemerintah (NGO) datang ke Aceh membantu penanggulangan bencana.

“Jadi ini dampak begitu meluas, kehancuran begitu hebat, dampak ekonomi hancur, makanya dunia tergugah, baik kelembagaan maupun masyarakat global. Ini menginspirasi PBB menghadirkan pembaharuan dalam menghadapi penanggulangan bencana dunia, maka lahir kerangka Hyogo,” katanya.

Namun, kata Alvin, Aceh belum banyak menunjukkan kemajuan terkait penanggulangan bencana, terutama dalam hal mitigasi bencana. Padahal, Aceh sudah memiliki gedung evakuasi, jalur evakuasi, serta inisiatif mengedukasi masyarakat yang dimulai dari tingkat sekolah.

Tapi, selama ini sarana pra sarana edukasi mitigasi bencana banyak tak terpakai sehingga membuat pengetahuan mitigasi bencana di Tanah Rencong itu bukan makin meningkat, malah terjadi penurunan.

“Dan kita bekerja agak sporadis, insidental dalam mitigasi bencana, ini bahaya. Karena mitigasi bencana itu suatu ikhtiar yang harus kita lakukan secara berkelanjutan, secara kontinu sehingga kita bisa mengimbangi kembali sisi pra bencana itu, mitigasi dengan sisi respon atau pasca bencana,” ujarnya.

Selama ini, Aceh hanya fokus pada sisi respon bencana yaitu penanganan pasca bencana terjadi, seperti peran tim reaksi cepat, penyediaan logistik, yang seharusnya dapat dipersiapkan dengan matang dalam tahap mitigasi.

“Pengetahuan mitigasi bencana masyarakat Aceh bukan makin berkembang, tapi malah merosot,” ujarnya.

Alvin menambahkan, Aceh, terkhusus Kota Banda Aceh, menjadi inspirasi dunia sebagai kota tangguh. Namun, hingga kini, ibukota Banda Aceh belum masuk dalam kriteria kota tangguh dunia.

Oleh sebab itu, Aceh harus bersinergi, saling melengkapi antara pemerintah daerah, BNPB, Badan Penanggulangan Bencana Aceh hingga BPBD di kabupaten kota untuk menyediakan segala kebutuhan, baik dari sisi kebijakan, pendanaan, dan kelembagaan untuk melakukan mitigasi bencana dengan benar.

“Kalau salah satunya kurang, maka ini tidak akan jalan. Sehingga kita harus betul-betul melakukan mitigasi bencana dengan benar, supaya kita betul-betul jadi contoh bagi dunia, kalau tidak, kita malu, dunia datang membawa bantuan,” ujarnya.