Kepala Ekonom Bahana TCW Investment Management: Krisis Ekonomi 2023 Lebih Lama dan Akut Dibandingkan 1998 dan 2008
JAKARTA - Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menilai sebaran dan keparahan krisis ekonomi 2023 berisiko lebih lama dan akut dibandingkan dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya, seperti yang terjadi pada 1998 dan 2008.
"Hal ini didorong oleh konflik geopolitik multi polar dan polemik kebijakan moneter pascapandemi yang lebih membutuhkan kerja sama internasional terutama antara negara yang berseteru," ujar Budi dikutip Antara, Rabu 30 November.
Menurut Budi, pertumbuhan ekonomi telah kehilangan momentum akibat pandemi COVID-19 yang kemudian diperparah perang Rusia-Ukraina serta perang dagang Amerika Serikat-China yang meningkatkan risiko utang negara miskin dan potensi krisis pangan di sejumlah kawasan.
"Pengaruh berbagai cost push factors pasca pandemi yang pelik terutama terkait upah, gangguan rantai pasok, lonjakan biaya energi dan pangan, mempersulit upaya bank sentral mengendalikan inflasi. Kebijakan pengetatan lanjutan berisiko memicu stagflasi global," kata Budi.
Baca juga:
- Pertemuan Tahunan Bank Indonesia: Ini Lima Hal yang Harus Diwaspadai Pada 2023
- Ekonomi 2023 Gelap, Ketua Kadin: Optimistis Tumbuh Positif, Jangan Mikir Negatif
- Ekonom Senior UGM Yakin Indonesia Masih Aman dari Ancaman Resesi Global 2023
- Bagaimana Prospek Industri Keuangan di Tengah Ancaman Resesi dan Serangan Siber?
Perekonomian Indonesia sendiri diharapkan dapat bertahan di tengah terpaan badai resesi global dengan ditunjang fundamental kuat.
Perekonomian domestik secara umum masih menunjukkan ketahanan dengan ditopang peningkatan permintaan domestik, investasi yang terjaga, dan berlanjutnya kinerja positif ekspor meskipun mulai menunjukkan indikasi pelemahan temporer pada September 2022.
Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia meneruskan akselerasi di tengah kontraksi dan pelemahan manufaktur di negara-negara besar, seperti Eropa, Tiongkok, dan Korea Selatan.
Selain memanfaatkan kenaikan berbagai income commodity (batu bara, nickel, CPO dan karet) yang lebih gegas ketimbang cost commodity (khususnya minyak mentah), program hilirisasi sektor mineral dan batubara (minerba) memperkuat fundamental perekonomian.
Selanjutnya, tidak hanya surplus neraca berjalan, peningkatan penerimaan pajak pun menjadi penting guna meredam dampak kenaikan harga bahan bakar untuk tidak langsung ditanggung oleh masyarakat yang belum lama menghadapi pandemi. Program re-industrialisasi juga lebih menjanjikan dalam penciptaan kesempatan kerja terampil untuk menaikkan pendapatan dan kesejahteraan.