"Kretek.. Kretek," Suara Negara yang Berutang pada Petani
JAKARTA - Sigaret kretek adalah produk budaya yang tak bisa dianggap sepele. Kretek yang awalnya dijadikan rokok obat, kemudian jadi pembeda, hingga begitu digemari. Ramuan rahasia berupa campuran tembakau, cengkeh, saus penyedap rasa jadi formula utamanya. Alhasil, kretek mampu menggoyang eksistensi rokok putih buatan dunia barat. Sejak kretek, sejarah rokok di Nusantara berubah. Kretek jadi produk bernilai ekonomis tinggi hingga hari ini.
Kehadiran kretek di Nusantara memiliki sejarah panjang dan mempunyai ragam versi. Beberapa cerita mengungkap jauh sebelum munculnya kretek, bangsa ini lebih dulu mengenal kebiasaan makan pinang dan sirih kapur. Kebiasaan itu bahkan langgeng hingga abad 16.
Tembakau masuk Nusantara diyakini baru dibawa oleh bangsa Portugis pada abad ke 17. Kala itu, tembakau yang dibawa dijadikan tembakau sugi atau di Jawa dikenal dengan “bako susur.”
Namun sejarawan Ong Hok Ham dan Amen Budiman menyakini rokok pertama kali dikenal oleh masyarakat Jawa pada akhir Penembahan Senopati memimpin Kerajaan Mataram. Dalam buku Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara (1988), Ong dan Amen, mengutip Babad Ing Sangkala dalam satu bait yang berbunyi: Kala seda Panembahan syargi ing Kajenar pan anunggal warsa purwa sata sawiyose milaning wong ngaudud.
Terjemahannya: Waktu mendiang penembahan meninggal di Gedung Kuning adalah bersamaan dengan mulai munculnya tembakau, setelah itu mulailah orang merokok.
Demikian bunyi dari salah satu sumber sejarah tertulis tertua di tanah Jawa. Karena itu, boleh jadi rokok sudah dikenal luas masyarakat Jawa sedari masa anak dari Senopati, Sultan Agung memerintah pada 1613 hingga 1645.
Bukti rokok telah masuk ke Pulau Jawa sekitar tahun 1600-an pernah diulas oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Tembakau, kata Raffles telah banyak tumbuh di berbagai tempat di Jawa.
Warga setempat menyebutnya sebagai “tombaku” atau “sata.“ Untuk ekspor biasanya produksi tembakau dilakukan di daerah Kedu dan Banyumas. Alasannya, daerah-daerah tersebut memiliki jenis tanah yang gembur sehingga tak memerlukan banyak perawatan.
“Untuk konsumsi penduduk, banyak ditanam lahan tembakau di berbagai tempat. Tapi distrik di wilayah timur dan Madura mendapat tembakau dari daerah Pugar. Bantam (Banten) menerima tembakau dari Banyumas, yang dibawa oleh pedagang dari Pakalongan yang berlabuh di pelabuhan Bantam. Produksi dari Kedu dibawa ke Semarang yang merupakan pelabuhan untuk ekspor,” tulis Raffles dalam mahakarya The History of Java (1816).
Tak hanya itu. Salah satu kisah rokok yang terkenal di masa pemerintahan Sultan Agung adalah kisah dari Roro Mendut-Pranacitra. Alkisah, Roro Mendut yang tak bersedia menjadi selir Tumenggung Wiraguna yang berusia tua dihukum membayar pajak tiga real per hari.
Supaya dapat membayar pajak, Roro Mendut berusaha dan menjual rokok. Semua usaha itu dilakukan Roro Mendut agar ia dapat berjumpa dengan Pranacitra yang muda dan rupawan. Akan tetapi, sepasang sejoli yang jatuh cinta terpaksa dipisahkan oleh maut. Pracacitra dibunuh Wiraguna yang cemburu. Sedangkan, Roro Mendut yang kehilangan pujaan hatinya melakukan bunuh diri.
Awal mula kretek
Kaum bumiputra, pada masa Sultan Agung hanya membuat rokok yang amat sederhana, baik bahan dan bentuknya. Lantaran itu rokok belum menjadi barang dagangan yang menarik, sampai akhirnya tradisi lisan mulai mengenalkan rokok obat buah karya H. Djamhari dari Kudus.
Penemuan rokok obat yang tak diduga itu jadi momentum penting dalam perkembangan rokok tembakau. Padahal, Djamhari boleh dibilang membuat rokok obat sebagai usaha coba-coba untuk menemukan “penyembuh” bagi penyakit asma yang dideritanya. Djamhari awalnya memanfaatkan minyak cengkeh, lalu mencoba mencampur cengkeh-tembakau untuk dibakar dan diisap.
“Minyak cengkeh itu menjadi obat alternatif dengan dioleskan pada dada dan punggungnya, lalu lelaki itu mencoba mengunyah dan menelannya. Ternyata kondisinya, menurut kisah lisan itu, mulai membaik. Kemudian pria yang tidak diketahui sosok dan wajahnya itu mencampur tembakau-cengkeh untuk dijadikan sebagai rokok. Ketika asap rokok yang diisap masuk hingga ke paru-paru dirasakan penyakitnya menjadi sembuh,” ujar Rudi Badil dalam buku Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya (2011).
Rumor akan kesuksesan rokok obat ala Djamhari makin mempopulerkan rokok tembakau-cengkeh berbalut klobot di kalangan warga Kudus. Perlahan-lahan, kenikmatan dan khasiat rokok obatnya mulai menyebar ke seantero Jawa pada 1870-an. Oleh karena suara rokok tembakau-cengkeh yang dibakar mengeluarkan suara: kretek, kretek, kretek. Jadilah rokok obat kreasi Djamhari disebut kretek.
Popularitas itulah yang mengilhami pengusaha-pengusaha rokok rumahan membuat sigaret kretek. Makanya, tidaklah aneh ketika pengujung abad ke-19 (tahun 1870-1880) daerah Kudus Kulon bermunculan industri rokok rumahan dengan merek sendiri-sendiri. Beberapa begitu terkenal, seperti cap Garbis, cap Tebu, cap Jagung, cap Gunung, dan cap Sabuk Daun.
Singkat cerita, industri kretek mencapai puncak kejayaannya saat seorang priayi bernama Nitisemito mulai membuat rokok buatannya secara kecil-kecilan pada 1910. Perlahan tapi pasti, setelah 12 tahun menjajakan rokok, ia mulai menuai keuntungan besar.
Nitisemito pun mendirikan usaha rokok klobot dengan merek Tjap Kodong Mangan Ulo (Cap Kodok Makan Ular). Namun karena jadi bahan tertawaan, Nitisemito mengganti mereknya dengan gambar tiga lingkaran sebagai label tanpa disertai tulisan atau nama produk.
Keunikan itulah yang membuat produk rokok Nitisemito sukses dan laris di pasaran. Sebagaimana yang diungkap Bedjo Riyanto dalam buku Siasat Mengemas Nikmat (2019), orang-orang menyebutnya dengan ragam nama, seperti ‘Bal Teloe’, ‘Bal Tiga’, atau ‘Tiga Bola’.
Kesuksesan itu membawa Nitisemito sebagai pionir industri rokok kretek pertama bumiputra. Itu pula yang menjadikannya dijuluki Raja Kretek (kretek kooning) oleh masyarakat Hindia Belanda. Lebih lengkap terkait raja kretek Nitisemito kami telah mengulasnya dalam tulisan “Cara Nitisemito Menjadi Raja Kretek di Nusantara”.
Keuntungan industri kretek
Aroma kejayaan Nitisemito telah dicium oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Pun Kompeni juga mencium nilai ekonomis yang dikandung dalam industri kretek. Setali dengan itu, Kompeni mulai menjadikan tembakau sebagai salah stau pemasukan bagi Hindia-Belanda. Dikutip dari J.A. Noertjahyo dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000), pajak tembakau yang dikumpulkan kompeni begitu besar.
Pajak tembakau pada tahun 1938 mencapai Rp1.790.000 atau 6,2 persen dari total pemasukan pajak dan bea. 20 tahun kemudian (1959), jumlah itu telah melejit menjadi Rp244.930.000 dan merupakan 18,2 persen dari total penerimaan pajak dan bea bagi pemerintah. Jadi, dalam 20 tahun kenaikannya mencapai hampir 137 kali.
Baca juga:
Tak hanya itu, menurut data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) tahun 1988, menyebutkan pembayara cukai rokok anggotanya mencapai Rp1.090.241.756.641. sementara tahun 1998 telah berlipat lebih dari enam kalinya, yaitu mencapai Rp6.286.982.466.382.
“Data itu menunjukkan besarnya peran industri kretek dalam memasukkan uang ke kas negara (sedari dulu). Jumlah itu pasti akan bertambah besar dengan memperhitungkan pemasukan dari jenis pajak lain, misalnya pajak perseroan, penjualan, reklame, ekspor-impor, dan sebagainya,” tutup J.A. Noertjahyo.