Alasan Irjen Napoleon Balas Surat Istri Joko Tjandra: Melayani Masyarakat
JAKARTA - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte mengaku membalas surat istri Joko Tjandra, Anna Boentaran yang meminta penjelasan mengenai red notice suaminya karena ingin melayani masyarakat.
"Kami pokoknya melayani publik, bila ada yang minta kami layani karena ada permintaan," kata Napoleon di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, dikutip Antara, Kamis, 10 Desember.
Napoleon menjadi saksi untuk terdakwa terpidana kasus korupsi "cessie" Bank Bali Joko Tjandra.
"Tapi surat Anna Boetaran tidak bernilai apa-apa bagi kami hanya karena dia istri subjek hukum tidak ada salahnya memberi tahu," ungkap Napoleon.
Napoleon mengaku mendapat surat dari Anna Boentaran pada 16 April 2020 yang diantarkan Tommy Sumardi yang meminta kejelasan status "red notice" Joko Tjandra ke NCB Interpol. Napoleon pun melakukan pengecekan ke sistem Interpol.
"Ternyata red notice Joko Tjandra sudah tidak berlaku permanen sejak 10 Juli 2019. Dapat saya jelaskan 'red notice' itu berlaku berlaku 5 tahun pertama sejak terbit yaitu pada 10 Juli 2009 artinya selesai pada Juli 2014 dan bila tidak diperpanjang oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan maka masuk ke 5 tahun kedua yang namanya 'grounded', artinya nama Joko Tjandra masih ada di 'red notice' tapi tidak bisa lagi untuk ditangkap," ungkap Napoleon.
Menurut Napoleon, bahkan bila Joko Tjandra melanglang buana keliling dunia, Interpol di berbagai negara tidak bisa menangkapnya karena tidak ada permohonan perpanjangan dari Kejaksaan Agung.
"Jadi status 'red notice' hanya sebagai arsip saja, boleh diperpanjang tapi ternyata tidak juga diperpanjang jadi 2019 terhapus permanen dan tidak bisa diminta perpanjangan lagi kecuali diminta 'red notice' yang baru," jelas Napoleon.
Atas permintaan Anna Boentaran itu memicu pengiriman surat dari NCB Interpol kepada Ditjen Imigrasi pada 29 April 2020.
"Tujuannya karena ada kekeliruan mengenai surat DPO (Daftar Pencarian Orang) untuk Djoko Tjandra pada 12 Februari 2015 karena saya tidak pernah lihat Djoko Tjandra masuk di DPO Kejaksaaan dan Polri. Istilah DPO dan 'red notice' ini saja Imigrasi kadang salah mengerti," tambah Napoleon.
Napoleon mengaku menyurati Imigrasi agar Imigrasi tidak kecolongan bila Djoko Tjandra masuk ke Indonesia.
"Kami menyurati agar jangan sampai Imigrasi kecolongan, jadi perlu ada mekanisme apa, tapi pada 12 Mei 2020 kami juga menyurati Kejaksaan perihal Djoko Tjandra ini dan dijawab dengan surat 13 Mei 2020 bahwa Kejaksaan minta perpanjangan lagi, padahal sudah tidak bisa," ungkap Napoleon.
Dalam rapat 19 Juni 2020, NCB Interpol mengaku mengundang Imigrasi dan Kejaksaan bila ingin membuat "red notice" baru Joko Tjandra.
"Tapi ternyata persyaratannya kurang karena Imigrasi tidak punya identitas foto terakhir karena Joko Tjandra masuk ke Indonesia masuk tidak lewat tempat pemeriksaan imigrasi," kata Napoleon.
Dalam perkara ini, Joko Tjandra didakwa melakukan dua dakwaan. Pertama, Djoko Tjandra didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah 500 ribu dolar Singapura, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo senilai 150 ribu dolar AS.