Jika Ada yang Lebih Tua dari Kemerdekaan, Itu adalah Gelandangan
JAKARTA - Apa yang lebih tua dari kemerdekaan Indonesia? Jawabannya barangkali adalah kemarjinalan dan ketimpangan sosial. Ini adalah kisah tentang gelandangan, salah satu representasi dari kemarjinalan dan betapa timpangnya kondisi sosial yang bahkan telah berlangsung dan menggeliat jauh sebelum Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan.
Kaum gelandangan mulai dikenal pada akhir abad ke-18. Kisahnya pernah diangkat oleh Ong Hok Ham dalam kolom berjudul Gelandangan dari Masa ke Masa di majalah Tempo terbitan 1982. Ong Hok Ham membuat tulisan itu berdasar laporan gubernur dan residen-residen Belanda tentang keberadaan para gelandangan.
"Antara Yogyakarta dan Semarang terdapat sekitar 35 ribu pekerja kasar yang disebut batur. Batur ini bercelana cawet, tidak memakai baju, tidak punya rumah tetap, tidak juga berkeluarga tetap. Kebanyakan mereka bekerja sebagai pengangkut barang atau kuli kasar. Karena itu, para batur ini dikatakan sering berdiam di dekat pasar, sebab di sana lah banyak barang yang diangkut," tulisnya.
Tak hanya di Indonesia. Ong menambahkan bahwa fenomena gelandangan telah lebih dulu menyasar daratan Eropa. Mereka menyebut gelandangan sebagai vogrants. Namun, agak sedikit berbeda dengan gelandangan di Indonesia, para vogrants ini sangat membayakan keamanan yang berarti apabila ada kesempatan untuk mencuri, mereka akan melakukannya. Oleh sebab itu, mereka dianggap sebagai pengacau yang sebisa mungkin dijauhkan dari golongan mapan.
Kondisi berbeda terjadi di abad ke-19. Saat itu jadi pertama awal istilah batur berubah menjadi kuli kasar. Berlanjut ke abad 20, sebuah kelompok yang hampir mirip dengan batur adalah para tukang becak dan kuli kasar lainnya. Meski begitu, kondisi mereka sering dikategorikan sebagai agak 'liar', dalam arti tanpa tinggal tetap, yang bahkan kerap menjadikan becak sebagai tempat tidur mereka.
Menariknya, dahulu batur juga sempat jadi penghubung antara kesatuan atau sel pasukan Diponegoro di wilayah Jawa Tengah saat perang jawa berlangsung dari 1741 - 1743. Namun, yang disayangkan, para batur atau kuli yang dipakai Diponegoro sebagai pengangkut barang atau penghubung tak ingin pulang ke desa setelah kedamaian pulih.
Akibatnya, mereka menjelajah ke ragam tempat sebagai gerombolan liar. Denys Lombard sempat mengungkap potret batur dalam bukunya yang berjudul Nusa Jawa. "Mereka disebut dan dikecam sebagai zwervers en trekkers, pengembara dan gelandangan, yang berada di pinggiran kota besar, khususnya di Batavia, dan mengancam ketertiban sosial," tertulis.
Walau begitu, Batur masih memiliki pekerjaan, walaupun serabutan. Hal ini membuat batur terlihat lebih baik dibanding dengan para jembel, istilah yang populer semasa pendudukan Jepang. Jembel ini lah contoh paling ekstrem dari para gelandangan. Pakaian combing-camping serta raga yang lelah karena disinyalir kelaparan menjadi bukti bahwa telah terjadi kesenjangan ekonomi pada masa mendekati Indonesia merdeka.
Dulu dan kini
Di mata Belanda, mereka adalah pengacau. Bagi Jepang, mereka dianggap penyakit. Sedang dalam prasangka politikus dalam negeri, mereka adalah alasan kenapa demokrasi tak berkembang. Satu-satunya hal yang membuat para gelandangan tetap ada adalah hak politik mereka dalam pemilu. Meski termarjinalkan secara sosial, secara politik, suara gelandangan tetap dihitung dan kerap diperebutkan.
Sesuai dengan bunyi pasal Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Maka di situ sudah jelas pemerintah seharusnya mengambil peran penting dalam melindungi mereka yang dianggap gelandangan.
Sayangnya, alih-alih melindungi, belakangan ini isu keberadaan mereka justru ingin dipidanakan. Hal itu tertuang dalam Pasal 432 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Adapun bunyi pasal itu adalah: Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.
Perkiraan jumlah denda Kategori I yang harus dibayar mengacu pada Pasal 79 Ayat (1) RKUHP yakni senilai Rp1 juta. Jumlah itu pun masih bisa berubah. Posisi RKUHP sendiri saat ini tengah ditunda pembahasannya untuk meredam gejolak penolakan oleh rakyat.