Desakan Cabut Gelar Profesor Siti Nurbaya Adalah Permintaan Konyol Ketika RI Dipuji Dunia Soal Tata Kelola Hutan
JAKARTA - Permintaan pencopotan gelar Guru Besar untuk Menteri Siti Nurbaya dari sekelompok kalangan yang mengatasnamakan koalisi masyarakat sipil, direspon kalangan aktivis. Apalagi ternyata dalihnya hanya demi membela sekelompok peneliti asing.
''Mereka mengaku kalangan saintis, tapi tidak saintifik dengan kondisi riil lapangan. Meminta gelar guru besar Siti Nurbaya yang juga Menteri LHK dicabut, menurut kami justru permintaan konyol dan tidak saintifik,'' kata Ketua DPP Forum Mahasiswa Sawit (Formasi) Indonesia, Amir Aripin Harahap dalam keterangannya, Senin 31 Oktober.
Persoalan lingkungan hidup dan kehutanan, terutama dalam penyelesaian konflik tenurial termasuk urusan konservasi satwa, tidak cukup hanya dengan analisa menggunakan mata satelit saja --yang dipakai kalangan peneliti asing. Karena ada hal-hal yang tidak dilihat satelit seperti persoalan konflik tenurial, sosial, dan ketertiban umum yang melibatkan banyak manusia di dalamnya.
Membawa masuk periset asing ke lapangan justru saat ini tidak signifikan membantu kerja pemerintah, karena yang memahami persoalan sosial masyarakat Indonesia harusnya anak Bangsa sendiri. Ada nilai-nilai kearifan lokal dan keadilan sosial yang tidak terbaca meski menggunakan satelit tercanggih sekalipun.
"Sudah cukup urusan rakyat Indonesia dijadikan obyek oleh asing dan aseng. Langkah pemerintah sekarang sudah on the track untuk menjaga rakyat dan sumber daya alamnya, lebih substantif dan riil dibandingkan era sebelumnya. Jadi para periset asing kalau ditolak masuk, harusnya pandai menghargai dan bukan ngotot dengan berpolitik atas nama paling saintifik," kata Amir.
Sikap kementerian dan juga Siti Nurbaya yang nyaris tidak merespon tudingan anti sains, menurut Amir justru menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia saat ini tidak mau lagi didikte oleh segelintir kelompok. Kebijakan saintifik justru terus dilakukan dengan berbagai kebijakan seperti moratorium ijin hutan primer dan gambut, tata kelola gambut, perhutanan sosial, upaya rehabilitasi, penurunan angka deforestasi dan yang paling konkrit lagi adalah pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca untuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Faktanya berbicara bahwa di era Siti Nurbaya ini kerja-kerja saintifik itu tidak lagi dilakukan pada sebatas tataran diskusi ilmiah, tapi faktual lapangan dan berbasis saintifik.
''Saat internasional mengapresiasi upaya Indonesia dalam tata kelola kehutanannya, kok malah ada segerombol pihak sibuk membela agar peneliti asing diijinkan masuk ke kawasan konservasi. Ini sungguh konyol sekali dan sangat tidak substansi untuk menjawab persoalan rakyat hari ini,'' tegas Amir yang juga menjabat sebagai pengurus KNPI Riau ini.
Baca juga:
- Menteri LHK: Ekonomi Biru Jadi Tantangan Baru
- Teken MoU, Indonesia-Inggris Sepakati Penyerapan Bersih Emisi di Sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan
- RI dan Norwegia Teken Kontribusi Berbasis Hasil untuk Pengurangan Emisi
- Ibu Kota Nusantara akan Terapkan Konsep Kota Hutan untuk Pancing Satwa Endemik Kalimantan Datang
Amir justru mendukung langkah-langkah pemerintah menyelesaikan konflik tenurial yang juga akan berdampak pada penyelesaian konflik satwa dan manusia, khususnya di kawasan-kawasan konservasi. Pihaknya juga menghargai komitmen pemerintah untuk menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi.
PR berat bagi Siti Nurbaya kata Amir, adalah pada pola implementasi penyelesaian UUCK, khususnya untuk kebun sawit dalam kawasan hutan. Keterlanjuran yang terjadi di era sebelumnya, kini harus bisa diselesaikan secara tepat sasaran dan tetap melihat kepentingan rakyat.
''Kebijakannya sudah baik, tinggal kawal implementasi lapangannya. Untuk kepentingan rakyat, urusan cabut mencabut gelar guru besar itu gak penting. Karena yang jauh lebih penting itu bagaimana realisasi UUCK bisa berdampak pada ekonomi masyarakat dan terjaganya lingkungan. Itu yang harus jadi prioritas semua pihak karena lebih substantif,'' tutup Amir.